Diskursus Peran Pendidikan dan Arti Guru

Oleh Irham UNISMA Bekasi dan Yudril Basith UNUSIA Jakarta

Sebelum mendiskusikan pengertian guru, penting kiranya terlebih dahulu menguraikan perdebatan peran pendidikan dalam kehidupan manusia. Pendidikan memiliki kontribusi yang besar dalam pembangunan peradaban manusia dan kemajuan sebuah negara. Hal ini yang dilakukan oleh negara-negara maju, misalnya Singapura meletakkan pendidikan menjadi faktor yang paling berpengaruh dalam sistem kemajuan negara (Tan, 2012). Begitu juga dengan negara Jepang, Korea dan China, yang menempatkan pendidikan sebagai hal yang utama untuk mencapai tujuan  (Didham, 2011). Pendidikan merupakan ujung tombak sebuah peradaban, dan merupakan pekerjaan pembangunan bangsa karena hal ini berkaitan dengan suluruh aspek kehidupan (Mihardja, 1986).

Teori-teori pendidikan modern yang berkembang juga hampir senada tentang peran pendidikan untuk manusia, seperti halnya teorinya Paulo Friere yang menyatakan bahwa pendidikan dapat memberikan kesadaran kritis kepada manusia untuk memberikan pembebasan (Freire, 2011). Perkembangan lainnya ada teori pendidikan multikultural (Banks, 2008), pendidikan humanis (Zuchdi, 2009), pendidikan behavioristik, pendidikan yang berbasis neurosains, konstruktivisme, dan proses pembelajaran kognitif (Schunk, 2012). Teori-teori ini secara substansial dalam rangka membangun kualitas kehidupan manusia dengan moralitas yang baik melalui dunia pendidikan.

Tidak hanya itu, terkait implementasi pendidikan, model-model pembelajaran juga mengalami kemajuan, misalnya model problem based learning (Jonassen, David H. 2015), metode active learning (Hollingsworth and Lewis, 2008), metode holistic (Patel, 2003), metode integrasi keilmuan yang sedang dikembangkan UIN se-Indonesia (Rifai et al., 2014), andragogy (Henschke, 2009), creating organization learning (Lashway, 2009), dan teacher-centered learning ke student-centereded learning (Garrett, 2008). Model-model pembelajaran ini tidak lain sebagai upaya untuk mencapai tujuan pendidikan yang sesuai dengan perkembangan zaman, dan untuk tercapainya cita-cita pendidikan, yakni memanusiakan manusia.

Pada dasarnya pendidikan bebas untuk semua dan tidak terbatas pada sejumlah anak tertentu, dalam ruang tertentu dan bimbingan orang tertentu atau waktu tertentu  (Hidayatullah, 2013). Namun setidaknya keberhasilan peran pendidikan ditentukan oleh tiga hal, yakni proses pembelajaran yang baik, peserta didik yang berkualitas, dan guru atau pendidik yang profesional (Mahfud, 2009). Dari tiga hal itu sebenarnya titik sentralnya ada pada seorang guru atau pendidik. Di era global peran pendidik bukanlah hanya sebatas mengajar, akan tetapi pendidik dituntut untuk menjadi seseorang yang profesional. Hal ini juga sebagaimana termaktub dalam Undang-undang RI nomor 14 Tahun 2005 bab I dan pasal I tentang guru dan dosen, bahwa pendidik merupakan tenaga profesional yang merencanakan, melaksanakan pembelajaran serta mengevaluasi hasil belajar.

Jadi, peran pentingnya pendidikan itu terlatak pada diri seorang guru. Secara sederhana guru dipahami sebagai seseorang yang mengajarkan ilmu. Menurut Surya, guru memiliki makna yang variatif yang dapat dilihat dari berbagai sudut pandang. Misalnya dari sudut pandang siswa, guru sebagai sumber motivasi belajar. Dari sudut pandang orang tua, guru menjadi mitra pendidik bagi anak-anak. Dari sudut pandang pemerintah, guru sebagai orang yang berperan secara profesional dan proporsional sebagai unsur penunjang kebijakan program pemerintah terutama di bidang pendidikan. Dari sudut pandang masyarakat, guru adalah wakil masyarakat di lembaga pendidikan, dan wakil pendidikan masyarakat. Kalau sudut pandang budaya guru merupakan subjek yang berperan dalam pewarisan budaya dari satu generasi ke genarasi yang lainnya, yang pada hakikatnya guru memiliki keberdayaan untuk mewujudkan kinerja seorang guru yang dapat mewujudkan fungsi dan perannya secara optimal (Surya, 2002:22–23).

Menurut Sheila Spence guru yang baik adalah murid yang baik, maksudnya guru dapat berperan sebagai siswa yang baik dan menjadikan siswa sebagai pusat perubahan, yang diposisikan seolah sebagai guru dan untuk itu butuh dukungan dari sekitar lingkungan yang ada (Spence, 2012). Lebih dari itu, syarat utama bagi guru untuk dapat mengajar dengan baik adalah guru yang memiliki penguasaan materi yang telah memadai, guru benar-benar kompeten dengan materi yang akan diberikannya, sebab guru yang tidak kompeten tentu tidak dapat mengahasilkan siswa yang kompeten (Rizali, Sidi, and Dharma, 2008:18–19).

Fazlur Rahman seperti dalam tesis Jamal Alfakhari, melengkapi ada tiga syarat berkaitan dengan kualiatas pendidik, yakni profesional, berpikir kreatif, dan terpadu. Sikap profesional menuntut seorang guru memiliki skill, metode yang cocok untuk menumbuhkan pengetahuan siswa. Tugas pendidik adalah menumbuhkan kemauan peserta didik untuk menciptakan pengetahuan dan menggunakannya, dan pengetahuan itu dipengaruhi oleh komunikasi antara murid dan guru dalam rangka pengembangan potensi peserta didik (Fakhari, 2011:154).

Secara umum guru bisa dikatagorikan menjadi dua, yakni orang yang benar-benar memiliki jiwa guru, kedua adalah guru yang dipaksakan menjadi guru. Guru yang pertama memiliki keyakinan dalam memandang murid yang dipandang sebagai manusia yang diciptakan dengan martabat yang luhur dan mampu memimpin. Kemudian sebagai ciptaan Tuhan terbaik yang memiliki potensi dan nilai. Pandangan yang kedua adalah mereka yang hanya datang mengajar untuk menggugurkan kewajiban sebagai rutinitas, datang mengisi absen, dan hal ini berimplikasi terhadap tidak terjadi transfer of velue dan suri tauladan yang baik untuk muridnya, karena dia tidak paham makna sebagai guru (Eckert, 2011).

Peran pentingnya guru telah dibahas oleh para peneliti, misalnya dalam riset terdahulu yang berjudul “Meningkatkan Prestasi Belajar Matematika Melalui Metode Kooperatif Model Learning Together (Suyadi, 2012), kemudian “Peningkatan Kecepatan Efektif Membaca (KEM) dan Pemahaman dengan Metode Quantum Reader Pada Siswa (Kartobi n.d.), selanjutnya “Pendekatan Berbasis Tugas, Kepribadian Ekstrovat dan Keterampilan Berbicara Bahasa Arab (Dinata, 2009). Berikutnya tentang, “Paradigma Baru Pembelajaran Telaah Keberhasilan Model DSL (Dawah Sistem Langsung) (Rahman, 2010), “Teacher Effectiveness in Relation to Emotional Intelligence (Jha and Singh, 2012), dan “Student-Teacher Relationships As Predictors of Reading Comprehension (DeTeso, 2011).

Riset tersebut pada intinya guru yang menentukan proses pembelajaran dan keduanya saling berkaitan dalam rangka memberikan peran pendidikan pada seluruh insan di dunia. Riset-riset terdahulu itu mengkaji proses pembelajaran yang melibatkan antara guru dan metode-metode yang digunakannya. Berhasil tidaknya program pendidikan termasuk pendidikan agama tergantung pada kemampuan gurunya, misalnya pendidikan agama dapat membentuk moral kemajemukan karena didukung oleh guru yang memiliki moral itu (Irham, 2018). Jadi dalam hal ini guru pemegang kendali terhadap perkembangan murid, pada sisi moralitas, maupun intelektualitas. Guru dalam arti ini dapat dikatakan sebagai penyampai materi, atau fasilitator, mediator, kepada anak didik. Penekanannya lebih kepada guru yang profesional, menguasai metode pembelajaran dan pengajaran yang orientasinya adalah pada kecerdasan kognitif.  Kalau pengertian guru dengan perannya seperti ini akan mengalami masalah dalam membentuk moralitas anak didik. Maka dari itu untuk pendidikan karakter harus ada revitalisasi makna guru. Selanjutnya ini berupaya menguraikan makna guru dari pendekatan tasawuf.  

Tulisan ini merupakan bagian dari artikel jurnal yang berjudul, "REVITALISASI MAKNA GURU DARI AJARAN TASAWUF DALAM KERANGKA PEMBENTUKAN KARAKTER". Terbit di Jurnal Ulul Albab 2018. 

Keterangan: gambar diambil dari situs https://mpi-iainpalopo.ac.id/


Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.