Ajaran Tasawuf dan Peran Guru

Oleh Irham Unisma Bekasi dan Yudril Basit Unusia Jakarta 

Tasawuf adalah mazhab etika, ranah yang paling diutamakan adalah moralitas. Tujuan pendidikan dalam tasawuf dapat memahami diri untuk mengenal siapa dia sesungguhnya dan mencari ketenangan untuk menghamba kepada penciptanya (Subhi, 1992:204). Biasanya orang yang belajar ilmu ini sudah memiliki tujuan hidup yang capaiannya bukan lagi duniawi melainkan ukhrawi. Seakan-akan mereka akan menghadap kepada Tuhan, maka harus bersiap-siap memperbaiki diri dari perbuatan buruk dan membersihkan dari penyakit hati.

Tasawuf merupakan metodologi yang membimbing manusia ke arah harmoni dan keseimbangan total. Sehingga bertasawuf yang benar berarti berpendidikan bagi kesadaran emosi dan spiritual. Pendidikan dalam ajaran ini  pada intinya proses menuju perbaikan diri dan pribadi yang pada gilirannya akan mencapai puncak makrifatullah (Siradj, 2012:238–239). Tasawuf memberikan ajaran cinta terhadap Tuhan, dan apabila orang sudah cinta akan Tuhannya maka akan mencintai makhluknya. Ini merupakan ajaran yang hakiki dari jalan sufi (Fuadi, 2013). Abdullah Syarqowi dalam Syarah Hikam menegaskan bahwa ilmu tasawuf sebagai tata cara untuk membersihkan hati dan juga untuk membentuk akhlak atau budi pekerti. Setiap mukallaf wajib ain hukumnya belajar ilmu ini, dalam rangka untuk memperbaiki diri secara lahir dan batin  (Syarqowi n.d.,:b-w).

Pokok pembahasan tasawuf menekankan kepada pembentukan karakter seseorang untuk meminimalisasi tingkat ego. Karakter seperti ini menjadikan pribadi terbentuk lebih baik. Menurut Munir Mulkhan perkembangan pribadi yang ideal bisa dibangun dengan meletakkan jiwa sufi, yang acap kali dicita-citakan oleh pendidikan, karena herarki tahapan maqam (Mulkan, 2000:178). Imam Ghazali telah menegaskan, bahwasanya jalan sufi itu dengan ilmu dan amal. Adapun amalan yang dilakukan yaitu pembersihan jiwa dan perilaku (akhlak) dari sifat tercela secara lahir dan batin. Selanjutnya dapat mengosongkan hati dari yang selain Allah dan mengisinya dengan berdzikir kepadaNya (Ghazaly 2011:65).

Orientasi yang lain, ajaran tasawuf mengarahkan pada penyadaran hakiki dengan pemaknaan hidup secara humanis. Penyadaran hakiki ini berada pada wilayah esoterik yang senantiasa meneguhkan nilai-nilai ilahiyah yang menjadi sumber dari segala bentuk kesadaran. Kemudian capaiannya lebih kepada kebahagiaan yang hakiki yaitu pada dimensi spiritualitas dan dimensi ini merupakan ajaran inti darinya. Ajaran ini bukan berarti seorang membenci perkara yang berhubungan dengan dunia, yang mengasingkan diri dari hiruk pikuk dunia, akan tetapi seperti apa yang dinyatakan oleh Sahal Mahfudz bahwa tasawuf memandang dunia ini adalah jembatan untuk menuju akhirat. Artinya bukan memandang dunia ini sebagai musuh untuk mendekatkan diri dengan Allah, akan tetapi sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepadaNya. Konsep yang ditawarkan tasawuf seperti zuhud, diartikan sebagai cara untuk mengurangi pola hidup yang individualistik dan konsumtif yang semakin marak pada era modern ini. Konsep ini merupakan pengendali moral manusia, yang sekaligus mengajarkan untuk hidup sederhana (Mahfudh, 2007). Oleh karena itu nilai-nilai ajaran ini sudah sepatutnya menjadi inspirasi ke dalam semua bentuk pendidikan dalam rangka mengembangkan pendidikan berkarakter.

Tasawuf memberikan pendidikan kepada murid untuk memahami diri. Karena itu, seorang murid perlu bantuan atau bimbingan supaya tidak tersesat dalam memahami diri dan ini bisa diperoleh dari sosok seorang guru. Konsep guru yang ditawarkannya  yaitu guru yang sesungguhnya. Artinya seorang guru memiliki otoritas penuh terhadap muridnya untuk menunjukkan jalan menuju kecenderungan spiritualitasnya (Khan, 2005). Namun demikian guru sufi juga tak segan mendengarkan apa yang diceritakan murid. Berbeda dengan kebanyakan guru yang hanya bisa memberikan ceramah kepada anak didik, dan tidak mau mendengarkan apa yang diceritakan muridnya karena faktor ego yang ada pada diri guru. Dalam kaitan ini Julian Weissglass tak menentangnya, ia menyatakan bahwa seorang guru pertama kali yang harus dilakukan adalah mendengarkan, kemudian mengajar (Weissglass 2012).

Guru bukan hanya memiliki tugas mengajar, akan tetapi juga mendidik, yang tidak dibatasi oleh tempat. Mengajar itu bisa dilaksanakan ketika  murid dan guru melakukan kontak secara langsung, face to face ataupun dengan media elektronik yang di dalamnya terdapat materi ajar dan terjadi proses pembelajaran. Mendidik lebih dari itu, karena mendidik tidak dibatasi oleh ruang, dan waktu. Seorang guru mendidik muridnya bisa dengan do’a tanpa adanya bahan ajar, yakni mendoakan muridnya ketika dari kejauhan untuk menadapatkan petunjuk oleh Allah, mendidik  bisa dibuktikan dengan suri tauladan yang baik seorang guru (Syalhub, 2006:1–2). Dalam posisi ini murid merupakan orang yang belum dewasa, yang memerlukan usaha, bantuan dan bimbingan orang lain untuk menjadi manusia yang mengemban tugas menjadi khalifah fil ardi (Ahmadi and Uhbuyati, 2007). Murid juga sebagai manusia yang mempunyai potensi sejak dilahirkan baik berupa potensi lahir dan potensi batin (Jalaluddin, 2011:67).

Konsep sufi menekankan bahwa murid membutuhkan peranan guru yang harus dilalui dalam tahapan maqam. Tahapan maqam dalam sufi dibagi menjadi empat tingkatan, pertama adalah maqam syariat yakni suatu ibadah yang memperbaiki amalan-amalan lahir, kedua maqam hakikat yakni mengamalkan segala rahasia yang gaib, ketiga maqam tarekat yakni memperbaiki amalan-amalan batin, dan maqam ma’rifat yakni mengenal hakikat Allah baik zat, sifat maupun perbuatannya, untuk mencapai tahapan-tahapan tersebut murid harus mempunyai seorang guru untuk menuntun atau membimbing mencapai tahapan tersebut. Di sinilah seorang guru mempunyai hak otoritas terhadap muridnya untuk mencapai tahapan-tahapan tersebut sebagai penunjuk jalan, artinya seorang guru memiliki kedekatan emosional terhadap muridnya (Mulyati 2005:6).

Guru dan murid memiliki hubungan yang susah untuk dipahami oleh rasio, hubungan ini sering disebut dengan iradah, yang biasa diartikan rindu atau keinginan. Guru disebut dengan murad yakni orang yang dirindukan atau diinginkan, dan orang yang mengikuti disebut dengan murid, orang yang rindu atau berkeinginan (Burhani 2002:53). Guru adalah tempat curhat bagi muridnya, yang berangkat dari landasan kepercayaan seorang murid terhadap gurunya (Bentonous 2003:51–52). Landasan kepercayaan yang menyebabkan patuhnya murid terhadap guru, yaitu sebagaimana kisah Abu Bakar Al-Shidiq meyakini kebenaran Nabi Muhammad SAW, ketika semua orang menolak peristiwa isra’-mi’ra. Abu Bakar merupakan orang yang pertamakali membenarkannya (Burhani 2002:54).

Uraian di atas dapat memberikan gambaran bahwa tasawuf sebagai ajaran moral spiritual bagi manusia, kemudian guru sufi aktifitasnya bukan hanya mendidik atau mengajar pada sisi intelektual maupun moral-perilaku, akan tetapi juga pada sisi spiritualitas atau batiniyyah. Pada sisi yang terakhir ini guru memiliki hubungan yang tak terbatas pada ruang dan waktu kepada murid/anak didik, sehingga murid merasa selalu diperhatikan dan guru terus memperhatikannya. Dengan demikian murid akan terus berupaya untuk melakukan yang terbaik dan terus meningkatkan kualitas dirinya. Pemaknaan guru/pendidik yang seperti ini akan menciptakan suasana pendidikan yang penuh dengan rasa kecintaan dan ketenangan baik secara lahir dan batin.

 Kaitannya dengan ini Jamal Fakhri menguraikan ada dua katagori dalam pendidikan tentang otoritas pendidik, pertama pandangan tradisional, yakni pendidik memiliki otoritas dan tanggung jawab dan menentukan pengetahuan yang harus dipelajari oleh peserta didik, kedua pandangan pragmatis yakni pendidik sebagai pendamping dan pemandu, dan pengarah dihadapan peserta didik (Fakhari 2011:155–56). Guru dalam ajaran tasawuf tentu lebih jauh dari pandangan tersebut atau yang senada dengannya.

Kalau teori-teori pendidikan modern seperti yang sudah dijelaskan pada sub sebelumnya memberikan makna bahwa guru dengan berbagai kreatifitas dan metodologi dalam proses pembelajaran, hanya menyentuh pada dimensi intelektualitas dan emosional. Sehingga untuk hal itu peran guru sebatas pada kontak fisik saja, di luar itu guru tak mampu mengontrolnya atau bahkan bebas tugas. Maka, hal ini berbeda dengan pandangan tasawuf, bahwa guru memiliki peran yang tidak terbatas pada ruang tertentu dan waktu secara khusus. Melainkan guru memiliki hubungan dan tanggung jawab yang kuat untuk memberikan perubahan kepada murid pada sisi intelektual, emosional, dan spiritual (moralitas secara lahir dan batin). Sebenarnya inti dari pendidikan tasawuf tersebut  secara umum telah diamanatkan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 kepada pemerintah Indonesia. Bahasa yang digunakan oleh UUD yakni pemerintah untuk mengusahakan dan menyelenggarakan satu pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang. Artinya pendidikan tasawuf dapat menjadi bahan acuan untuk mengembangkan pendidikan nasional.

Tulisan ini merupakakan bagian dari artikel jurnal yang berjudul, "REVITALISASI MAKNA GURU DARI AJARAN TASAWUF DALAM KERANGKA PEMBENTUKAN KARAKTER", terbit di Jurnal Ulul Albab 2018 lihat di sini.

Keterangan: Gambar diambil dari situs https://iqra.id/4-pilar-penting-dalam-ilmu-tasawuf-235701/


Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.