Pentingnya Kedekatan Guru dan Murid: Tinjauan Ilmu Tasawuf

Oleh Irham Yuwanamu & Yudril Basith


Ilmu tasawuf memuat ajaran yang mengarah kepada konsep dan prinsip dalam pengembangan karakter. Ranah yang disentuhnya adalah jiwa atau ruhani, karena ruhanilah yang bisa memperbaiki dan berdisiplin dalam rangka pembentukan moral (Lari, 2001:4–6). Setiap tindakan yang dilakukan merupakan pengulangan apa yang dikehendaki, dan menegaskan upaya menghindar dari yang tidak disukai, hal itu bertujuan kepada kesadaran, yang membedakan manusia dengan yang lainnya, yakni kesadaran spontan akan kondisi (Haeri, 2004:55–58). Hal ini bisa dilakukan oleh guru yang memiliki budi pekerti, bukan hanya ahli pada bidang metode, dan penguasaan materi, namun akhlak, kepribadian dan ketajaman mata batin seorang guru. 

Kepribadian guru sufi di sini ditandai adanya kedekatan antara guru dengan muridnya. Menurut Syekh Khaled Bentonous mengatakan bahwa kedekatan guru terhadap murid tidak hanya dipengaruhi fisik, sebab fisik hanya meliputi ruang dan waktu, akan tetapi seorang guru memiliki kedekatan batin yang kuat terhadap seorang murid, sehingga ada ungkapan bahwa pada saat tertentu dia adalah guru dan pada saat yang lainnya dia sebagai manusia biasa (Bentonous, 2003:49).

Menurut Ahmad Najib Burhani kedekatan batin bisa didapatkan dengan kedekatan hati bukan kedekatan rasio, karena kedekatan rasio selalu mepertanyakan segala sesuatunya, sedangkan kedekatan batin hanya bisa diperoleh dengan keyakinan, karena keyakinan tak butuh lagi pertanyaan (Burhani, 2002:66). Sama halnya Abu Sangkan, yang menyatakan bahwa jiwa adalah hati. Jika dijelaskan dengan rinci lagi yakni jiwa (annafs) sebagai wujud atau dirinya, sedangkan hati (qalb) adalah sifat dari jiwa (Sangkan, 2003:79). Oleh karena itu kedekatan seorang guru dengan muridnya yakni ditentukan oleh kedekatan hati mereka dengan cara seorang guru mendoakan muridnya di manapun ia berada, begitu juga sebaliknya seorang murid mendoakan seorang gurunya di manapun dia berada. 

Kedekatan batin ini akan berimplikasi terhadap perilaku yang baik, karena yang disentuh adalah ranah prilaku, dan prilaku adalah suri tauladan yang baik untuk seseorang. Ranah prilaku bisa dicontoh dari seorang guru yang memiliki sipritualitas yang tinggi, karena tingkat spiritual akan berimplikasi terhadap prilaku yang baik. Seperti apa yang dikatakan oleh Komarudin Hidayat dalam bukunya psikologi agama bahwa spiritual berpengaruh terhadap prilaku seseorang (Hidayat, 2006:xxi). 

Kedekatan di sini merupakan penyelarasan diri dengan orang lain. Dalam hal ini tidak dapat dilakukan oleh diri sendiri tanpa bantuan orang lain seperti halnya seorang dokter bedah yang tidak mungkin membedah dirinya sendiri. Oleh karena itu dukungan dan bimbingan seorang guru terbukti sangat bermanfaat dan sangat diperlukan (Khan, 2005:75–80). Untuk mendapat kedekatan ini seseorag murid harus melalui tahapan penyucian jiwa. Dalam tasawuf ada tiga metode dalam mendapatkan kebersihan jiwa yakni takhalli, tahalli dan tajalli (Siregar, 2002:102–4). Metode takhalli merupakan penyucian hati dari ketertarikan terhadap dunia, yang bukan berarti dia tidak butuh dengan dunia, akan tetapi tidak mencitai dunia secara berlebihan.

Tahapan ini seorang murid dapat bimbingan oleh seorang guru sufi yang didapatkan lewat tatap muka karena hal ini berkaitan dengan aspek lahiriah, seperti bagaimana cara bertobat yang benar, zikir apa yang harus dilakukan, ceramah-ceramah seorang guru untuk mengosongkan diri perbuatan kecintaan terhadap dunia. Guru tidak memaksa murid untuk berbuat sesuatu, karena pemaksaan akan berakhir dengan kehancuran murid, guru tidak mencampuri wewenang pribadi seorang murid kecuali diminta oleh murid tersebut. Seorang guru hanya sebatas memberi peringatan bukan melarang, membimbing bukan memaksa (Bentonous, 2003:53–54). Takhalli ini akan berimplikasi pada kedekatan fisik atau lahiriah, yakni murid mendapatkan pelajaran dari seorang guru yang didapatkan secara langsung tatap muka.

Selanjutnya tahapan kedua, yakni tahalli sebagai upaya untuk mengosongkan hati dan mengisinya dengan mengingat Allah. Pada tahapan ini seorang guru memantau secara terus menerus muridnya dalam pendekatan diri kepada Allah, sehingga tercipta kedekatan emosional antara guru dengan murid. Kedekatan emosional ini bermula dari seorang guru menanyakan kepada murid. Dengan demikian dapat terciptanya pembimbingan yang baik untuk memantau perkembangan spiritual murid. Seorang murid dituntut memiliki sifat rendah hati dan rasa hormat tehadap guru. Sikap rendah hati dan rasa hormat adalah dua hal yang perlu dicamkan pada saat berhadapan dengan seorang guru, dan seorang murid harus mempunyai prasangka baik terhadap gurunya (Bentonous, 2003). Kalau dalam teori modern misalnya metode NLP (Neuro-linguistic programming), hal itu dapat disebut sebagai tahapan mirroring yaitu membangun kesamaan guru dengan murid. Kemudian eye contact/kontak mata yakni memperhatikan siswa dan verbal agreement, yaitu memberikan kebebasan berpikir dan berpendapat bagi murid (Hakim, 2011:70–80). 

Tahapan yang terakhir adalah tajalli di mana seorang murid diharapkan mencapai kebahagiaan yang sejati. Kebahagiaan ini berisifat spiritual, dan bertemunya seorang murid dengan tuhannya dalam tingkat spiritual. Pada posisi inilah hak otoritatis seorang guru diperlukan, supaya tidak ada kekeliruan dalam memahami tuhannya, karena guru di sini sudah lebih mengetahui kondisi spiritual murid. Tingkat spiritual ini berimplikasi terhadap kedekatan batin seorang murid terhadap guru, sehingga bisa bertemunya seorang murid dengan guru tanpa dibatasi oleh fisik, sehingga bisa mendapat bimbingan melalui jarak jauh yang berupa penyatuan. Penyatuan ini tercapai karena menyatukan hati yang maksudnya di dalam menyucikan hati dan mengeluarkan dari hati kecintaan terhadap semua hal selain dari Tuhan Yang Maha agung (Rabbani, 2004:94). Metode ini berlanjut secara simultan yang tidak bisa dipisah-pisahkan, mungkin dalam waktu bersamaan seseorang sudah bertakhalli, bertahalli dan bertajalli, dalam hal ini sekaligus seseorang melakukan kedekatan secara fisik, emosional dan sprirtual. 

Secara lahiriah menurut Sara Rimm Kaufman, guru yang mempunyai kedeketan yang baik terhadap muridnya akan berimplikasi terhadap situasi kelas yang kondusif, dan perkembangan emosi murid, serta mendapat nilai akademik yang bagus (Rimm-Kaufman n.d.). Ketika berbicara kedekatan batin, erat sekali dengan pembicaraan jiwa atau batin. Menurut William Chittick jiwa ini bisa dimaknai esoteric tergantung objeknya, dan esoteric ini bisa disamakan dengan makna kondisi jiwa seseorang. Jiwa tidak mempunyai batas fisik. Jadi kedekatan batin di sini bisa di maknai kedekatan jiwa seseorang. Karena jiwalah yang menyadari jiwa, ada tingkatan jiwa yang dikatakan bahwa sesuatu yang tak kelihatan ini adalah lebih berpengaruh dalam suatu yang lebih dari yang lain (Chittick, 2010:109, 166). 

Oleh karena itu kedeketan batin adalah kedekatan jiwa seseorang dengan orang lain yang tidak dibatasi oleh fisik. Sehingga ada ungkapan, jiwa akan diterima oleh jiwa, kemudian yang rasional, maka akan diterima secara rasional. Menurut Al-Attas kedekatan guru dengan murid ini bisa diraih dengan “konsep ta’dib” yakni seorang guru memiliki otoritas terhadap muridnya, dan murid akan mengakui bahwa di dunia ini seseorang memiliki tingkatan-tingkatan yang berbeda. Sehingga Al-Attas tidak menganggap penting sebuah metode dalam pembelajaran. Setiap siswa ataupun mahasiswa akan mendemonstrasikan tingkat pemahamannya terhadap materi secara berbeda-beda (Suwendi, 2008). 

Kedekatan batin ini sulit terjadi, manakala guru hanya bertugas transfer of knowladge, yang dibatasi oleh ruanglingkup sekolah atau universitas. Kemudian apabila berada di luar sekolah, guru menganggap bahwa mendidik bukan lagi tugasnya, seorang guru sudah lepas tanggung jawabnya. Seakan tugas mendidik beralih tanggungjawab ke orang tua dan masyarakat. Semestinya seorang guru tidak harus dibatasi ruang dan waktu seperti dalam ajaran tasawuf. Oemar Hamalik menegaskan kembali bahwa guru adalah “key person”. Guru yang memimpin dan mengarahkan kegiatan belajar para siswa, guru yang banyak berhubungan dengan murid muridnya. Hal itu juga yang menyebabkan seorang guru memiliki hak otoritatif terhadap muridnya bukan hanya otoritas akademik tapi juga non akademik (Hamalik, 2009:28). 

Relasi guru dan murid pada konteks ini memiliki makna yang sangat penting dalam pendidikan. Keberhasilan capaian pendidikan seakan ditentukan dari hubungan ini, artinya relasi tersebut memiliki peran utama. Kalau ditelisik lebih mendalam di dunia tasawuf entry poitnya atau ruhnya ada pada konsep guru dan murid ini. Meniadakan konsep ini sama halnya meniadakan sufisme itu sendiri. Pada dasarnya kedekatan antara guru dan murid dalam praktik sufi merupakan pendidikan berbasis amaliah yang berbeda dengan tradisi pendidikan modern dengan berbasis membaca dan menulis. Praktik pendidikan ini dapat melanggengkan ajaran atau doktrin yang bersumber dari guru kepada murid (Rubaidi, 2015). 

Imam Ghazali pernah menjelaskan dalam tulisannya yang berjudul ayyuhal walad, bahwasanya ilmu tanpa diamalkan seperti orang gila, begitu pula amal tanpa didasari dengan ilmu itu tak berarti. Ilmu dapat menjauhkan seseorang dari perbuatan durhaka/maksiat dan juga dapat menjauhkan dari neraka, dua nhal ini harus seimbang (Ghazaly, 2011:162). Di sini al Ghazali menegaskan bahwa ilmu dan pengamalan itu tak bisa dipisahkan, keduanya saling terkait seperti mata uang yang tak bisa dilepaskan sisinya. Oleh sebab itu para guru sufi memiliki peran tersebut kepada murid-muridnya. Orientasi pengamalan yang didasari dengan ilmu untuk mencapai cita-cita suci dengan pembersihan jiwa, memperbaiki akhlak dan meningkatkan ibada kepada Allah sudah menjadi tanggung jawabnya. Jadi, konsep pendidikan yang seperti ini dapat menjadi bahan acuan untuk penguatan pendidikan karakter secara mental maupun spiritual di Indonesia.

*Artikel ini merupakan bagian dari artikel yang sudah pernah terbit di jurnal Ulul Albab, pdf-nya secara lengkap bisa diunduh di sini https://www.researchgate.net/publication/325985555_REVITALISASI_MAKNA_GURU_DARI_AJARAN_TASAWUF_DALAM_KERANGKA_PEMBENTUKAN_KARAKTER

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.