Dosen dan Jabatan: Antara Menjadi Produktif dan Tidak

Oleh Dr. Zaprul Khan

Salah satu penyebab sulit berkembangnya ilmu pengetahuan di Indonesia adalah godaan jabatan. Semua dosen-dosen yang sudah rampung program jenjang pendidikan doktoral, hampir dapat dipastikan akan menempati posisi jabatan penting strategis di perguruan tingginya masing-masing. 

Entah menjabat sebagai Rektor dan Wakil Rektor, Dekan dan Wakil Dekan, Direktur dan Asisten Direktur Pascasarjana, Ketua dan Sekretaris Program Studi, Ketua atau Kepala Lembaga dan Unit internal di kampusnya masing-masing dan lain-lain. 

Nyaris sebagian besar dosen-dosen yang cerdas, kreatif, dan produktif dalam berkarya, serta aktif melakukan riset dan menulis, menempati posisi strategis sebagai Rektor, Wakil Rektor, Dekan, Wakil Dekan, Direktur, Asisten Direktur, atau Ketua dan Sekretaris Program Studi, Ketua atau Kepala Lembaga internal kampus. Akibatnya mereka kehilangan kreativitas dan produktivitasnya dalam menulis, riset, dan berkarya.

Sebab sebagian besar waktunya sudah habis untuk mengurusi hal-hal yang bersifat teknis-administratif atau hal-hal yang berhubungan dengan kebijakan kampus. Sehingga kreativitas intelektualnya dan produktivitasnya dalam berkarya menjadi tumpul. 

Biasanya dosen-dosen yang kreatif dan produktif menulis karya-karya yang berkualitas memang orang-orang yang sebelumnya tidak mempunyai jabatan penting atau orang-orang yang tersingkirkan dari lingkaran kekuasaan kampus.

Di negara kita, kalau ada dosen sudah menyandang gelar Doktor atau Profesor tapi tidak memiliki jabatan di kampusnya, maka akan tampak aneh. Mereka akan terlihat aneh dan menyimpang dari kelaziman. “Doktor kok nganggur gak punya jabatan?  Profesor kok cuma ngajar, nggak menduduki posisi penting di kampus?” Kira-kira seperti itu pandangan sebagian mitra dosen-dosen yang lain.

Maka tidak mengherankan kalau sebagian dosen-dosen yang menyandang gelar Doktor atau Profesor, pada rebuatan ‘kue’ jabatan penting di kampusnya masing-masing. Bahkan tidak sedikit dosen-dosen kita yang melanjutkan pendidikan jenjang doktoral atau mengejar mati-matian jabatan Profesor dengan tujuan untuk meraih jabatan-jabatan strategis di kampusnya masing-masing. 

Tujuannya melanjutkan pendidikan puncak bukan lagi untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, tapi untuk mengejar jabatan strategis. Ini sudah menjadi rahasia umum.

Ironisnya lagi, sebagian besar masyarakat kita lebih menghargai para pejabat kampus ketimbang dosen yang produktif berkarya, ilmuwan atau cendekiawan kampus. Bukan hanya masyarakat awam, bahkan sebagian besar kalangan civitas akademisi sendiri, lebih menghormati para pejabat kampus daripada cendekiawan kampus. 

Meskipun Rektor dan Dekan-nya lemah sekali keilmuannya misalnya, masih lebih dihormati ketimbang dosen murni fungsional yang cerdas, kreatif dan produktif berkarya.

Mungkin harus ada kebijakan khusus dari pemerintah dalam memprioritaskan dosen-dosen yang berbakat menjadi ilmuwan. Pemerintah perlu memberi perhatian khusus kepada mereka. 

Dosen-dosen yang berbakat menjadi ilmuwan, mempunyai minat tinggi dengan ilmu pengetahuan, kreatif dan produktif dalam menulis, serta aktif dalam melakukan riset, harus disupport oleh pemerintah untuk mengembangkan minat keilmuan mereka.   

Mereka harus diprioritaskan dalam mendapatkan scholarship ke luar negeri untuk mengembangkan keilmuan mereka misalnya. 

Setelah selesai, orang-orang ini perlu difasilitasi dengan semacam laboratorium ilmiah sebagai tempat mereka mengembangkan ilmu yang mereka miliki. Mereka juga perlu diberi insentif yang istimewa atas kontribusi keilmuan mereka agar tidak tergoda dengan jabatan-jabatan teknis-administratif. 
Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.