Masalah Pendidikan Islam
Oleh Irham Yuwanamu, Dosen Unisma Bekasi
Pendidikan Islam di dunia secara umum atau lebih khusus dalam konteks di Indonesia, sama-sama masih menyisakan permasalahan. Baik dalam sejarah tempo dulu maupun dalam konteks sekarang. Permasalahan itu misalnya berkaitan dengan konteks sosial budaya maupun perannya dalam pengembangan ilmu pengetahuan.
Dilihat dari perspektif sejarah, pendidikan Islam mengalami dinamika yang pelik. Dinamika itu termasuk adanya dikotomi keilmuan, antara kajian yang dianggap keislaman seperti ilmu al-Qur’an, hadis, fiqih, dengan yang di luar itu seperti sastra, filsafat, ilmu kedokteran dan lain sebagainya. Dinamika ini tidak terlepas dari faktor politik sebagai kepanjangan tangan penguasa pada saat itu. Bani Umayyah termasuk penguasa politik yang tidak memerhatikan sains dalam dunia pendidikan.
Pengkajian ilmu difokuskan pada persoalan agama, itu pun ditentukan mazhab keagamaannya yang dapat mendukung dan memperkuat posisi politik mereka. Ini berbeda dengan pada masa Bani Abbasiyah yang inklusif dengan ilmu pengetahuan. Masuknya sains dari Yunani, membuat integrasi antar ilmu-ilmu agama yang sudah dikembangkan ilmuan muslim dengan sains dari Yunani. Lembaga akademik seperti Bait al-Hikmah menjadi poros yang mengkaji berbagai disiplin ilmu itu. Dinamika seperti ini terus terjadi dalam sejarah pendidikan Islam berdasarkan silih bergantinya penguasa pemerintahan Islam.
Menurut Abdurrahman Mas’ud dinamika di atas itu karena hadirnya simtom dikotomik, dan ini terjadi bukan hanya dalam lembaga pendidikan. Akan tetapi hal itu menyerang ke dalam seluruh aspek kehidupan umat Islam. Mulai dari raja hingga rakyat jelata, dari pribadi ke komunitas, dari luar lembaga masuk ke dalam lembaga dan begitu seterusnya. Mas’ud mengidentifikasi salah satu lembaga pendidikan yang terjangkit penyakit dikotomik adalah Madrasah Nizamiyyah yang ada di Baghdad. Permaslahan-permasalahan seperti ini belum selesai hingga sekarang di dunia pendidikan Islam. Belum lagi persoalan yang berhubungan dengan konteks sosial budaya.
Dalam konteks ini, pendidikan Islam masih ada kesan negatif. Seperti ketidakmampuan memberdayakan masyarakat untuk peningkatan perekonomian dan kesejahteraan hidup, kemudian tidak mampunya meyiapkan anak didik untuk memiliki skill problem solving. Bahkan pendidikan Islam terkesan sebagai pendorong pandangan yang keras (idiologi radikal) bagi peserta didik seperti yang terjadi di Afrika. Dalam konteks di Indonesia juga demikian, inkonsistensi atas toleransi dalam materi pendidikan Islam masih terjadi.
Para pendidik masih belum memiliki wawasan yang memadai terkait dengan keislaman dan kebangsaan. Adanya persoalan ini tentu ada hubungannya dengan pandangan tentang ilmu pengetahuan oleh lembaga pendidikan Islam atau para pendidiknya. Oleh karena itu dalam penelitian oleh tim PPIM UIN Jakarta merekomendasikan agar lembaga pendidikan Islam melakukan integrasi keilmuan dan meningkatkan kapasitas ilmu para pendidik.
Di Indonesia isu dikotomisasi ilmu dalam pendidikan Islam sudah lama terjadi. Menurut Sahal Mahfudh di antara sumber masalah dikotomi dalam pendidikan Islam di Indonesia karena pengaruh politik kolonialisme Belanda yang mendiskreditkan umat Islam. Menurutnya isu ini tidak boleh terjadi dalam pendidikan Islam saat ini. Menyikapi ini, para pemikir pendidikan Islam seperti Amin Abdullah, Azyumardi Azra mengembangkan gagasan integrasi keilmuan untuk pendidikan Islam. Gagasan ini tentunya sebagai obat dari penyakit dikotomi ilmu yang masih terjadi. Kalau Abdurrhaman Mas’ud gagasannya adalah pengembangan paradigma humanis religius dalam pendidikan Islam.
Pemisahan antara ilmu agama dengan ilmu non agama dalam pendidikan Islam akan menghambat pengembangan ilmu pengetahuan. Pendidikan Islam tetap terkesan sebagai pendidikan yang terbelakang. Produknya adalah alumni atau lulusan yang wawasan ilmunya rendah, dan tidak akan mampu menyelesaikan masalah di luar disiplin ilmu yang dimiliki. Lebih ekstrim lagi, yang terjadi adalah lulusan pendidikan Islam tidak ada yang ahli di bidang sains dan teknologi.
Dalam konteks global, kondisi seperti ini pasti akan ditelan jaman. Oleh sebab itu kembali pada sharah atas terminiologi “ilmu” yang sudah dikaji pada sub di atas, maka semestinya pendidikan Islam tidak perlu lagi mendikotomikan ilmu pengetahuan. Dalam sudut pandang ulama muslim sendiri, secara khusus perspektif ulama hadis, penjelasan “ilmu” dimaknai secara beragam dan inklusif. Artinya dalam hal ini tidak ada monopoli makna dan ruang lingkupnya.
Hemat penulis, bercermin dari pandangan bahwa ilmu memiliki ruang lingkup yang luas tidak terbatas dan bisa terus berkembang, maka lembaga pendidikan Islam tidak memisahkan ilmu agama/ ilmu Islam dan di luar ilmu Islam. Dengan demikian lembaga pendidikan Islam seperti halnya sejarah Bait al-Hikmah sebagai agen pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sharah atas ilmu yang sudah dijelaskan di atas secara tidak langsung untuk memperkuat gagasan integrasi keilmuan. Ilmu tidak lagi dipahami secara sempit oleh lembaga-lembaga pendidikan Islam.
*Tulisan ini merupakan bagian dari pembahasan artikel yang berjudul "Hadis Populer Tentang Ilmu dan Relevansinya dengan Masalah Pendidikan Islam" terbit di Jurnal Al Quds, Vol.4 No. 2. Selengkapnya artikel dapat diunduh di sini.
Tidak ada komentar