Refleksi dan Historisitas Santri Cinta Negeri

Oleh KakHan Sj



Pemuda kita saat ini harus terus berintrospeksi diri, memandangi jasmani dan rohani, dan bertanya kepada diri ‘apakah diri sudah merefleksikan santri? Seperti apa pemuda cinta tanah air masa kini?

Santri sejati akan selalui mawas diri dalam menggapai keluasan ilmu pengetahuan agama dan membumisasikannya’ ke dalam perilaku keseharian, seperti keteladanan santri sejati masa lalu, para pemuda cinta tanah air yang rela berkorban demi tanah air; (adalah para Kiai, adapun santri sejati berprestasi dengan penuh kewibawaan (prestise) membimbing para santri), yang sejak tiba kolonialisme Barat, melakukan gerakan melawan penjajah secara pelan dan pasti serta simultan embentuk jaringan santri, beriringan dengan perjuangan pemuda di berbagai wilayah Nusantara, negeri tercinta ini.

Kita bisa bercermin dari histori Sultan Agung Adi Hanyakrakusuma kelahiran 1593. Sultan ketiga Mataram Islam yang memerintah mulai tahun 1613-1645. Sultan Agung muda adalah teladan pemuda cinta tanah air yang cerdas. Sejak usia 20 tahun terus berjuang melakukan perlawanan bersama pemuda dan santri. Selama 32 tahun berjuang dengan tetap berbakti ‘Sendiko dawuh’ kepada sesepuh membentuk jaringan pemuda pecinta tanah air.

Pada perang Jawa tahun 1740-1743, gabungan perlawanan pemuda dan santri memang belumberhasil mengusir penjajah. Namun, fakta perjuangan di beberapa daerah tercatat layaknya ‘cermin hidup’. Walaupun sang Kiai sudah gugur mengahadap Ilahi Rabbi, namun semangat belajar, berjuang, dan berbakti selalu hadir di dalam sanubari para santri menjaga kedaulatan negeri ini.

Di Jawa Timur, pembentukan jaringan santri bermula dari pesantren rintisan satu cucu Syarif Hidayatullah, bernama Sayyid Sulaiman yang memimpin antara tahun 1745-1766. Pesantren yang berdiri seratus tahun setelah sultan keempat mataram ini, bukan hanya mendidik santri ilmu agama dengan menanamkan cinta tanah air (hubbul wathan), melainkan juga mencetak kader pemuda cinta tanah air (Syubbanul Wathon).

Di Jawa Tengah, Kiai Nawawi al Bantani (1813-1897) memiliki kader-kader santri yang berperan penting dikemudian hari; diantaranya KH. Hasyim Asy’ari (1871-1947). Pendiri NU dan Pencetus Resolusi Jihad 22 Oktober 1947 ini tercatat juga belajar pada Kiai-Kiai dari Jawa, luar Jawa dan Makkah, diantaranya Kyai Cholil Bangkalan (1820-1926).

Semenjak belajar inilah terbangun penguatan jejaring santri pejuang secara intensif, terutama melalui jaringan pejuang bertarekat yang berjalan sejak masa sebelum perang Jawa (1825-1830) dibawah komando pangeran Diponegoro (1785-1855).

Seperti ungkapan Azyumardi Azra, bahwa sejak abad ke-17 di Jawa ini telah terjadi intensifikasi  keislaman. Dimana peran tarekat terus meningkat. Bahkan, kemudian terjadi proses ekslusivikasi  taraket, yakni semakin ketatnya sikap para penganut tarekat dalam menghadapi Belanda (www.republika.co.id , 09/11/2019). Jejaring Kiai bertarekat juga menumbuhkan jiwa Nasionalisme yang tinggi pada diri Hadrotus Syeikh.

Misalnya, di daerah Gowa, Takalar dan Bontoala, Makkasar, Sulawesi Selatan diramaikan dengan jaringan kaderisasi para kiai setidaknya hingga terjadinya perang Rompegading tahun 1824 (www.mitra.nu.or.id,30/04/2019). Kendati demikian, kaderisasi santri tidak pernah berhenti. 

Keteladan para Kiai dan semangat cinta tanah air dari sedikitnya seratus tujuh puluh Pahlawan Nasional, -dalam membimbing pemuda dan santri memahami agama dan berpejuang melawan penjajah menggapai kemerdekaan-, memang belum sepenuhnya dapat direfleksikan dalam bentuk film yang patut jadi tontonan dan tuntunan.

Sangatlah wajar, Hari santri ke-5 pada 22 Oktober 2020 ini, seluruh santri dan pemuda cinta tanah air, bisa merefleksi historisitas perjuangan tergambar dalam film ‘Sang Kiai’ karya sutradara Rako Prijanto tahun 2013 dan sosok ‘Sang Pencerah’ karya Hanung Bramantyo tahun 2010, tentu juga film ‘Sultan Agung; Tahta, Perjuangan dan Cinta’ tahun 2018.

Menjawab pertanyaan diatas, Pemuda dan Santri cinta canah air masa kini adalah mereka yang mencintai para Kiai dengan sepenuh hati dan mengabdikan diri dengan mendalami ilmu pengetahuan agama, sebagai penerus Kiai, menjadi santri sejati. Sebagaimana dipesankan KH. Abdul Wahab Hasbullah dalam syair Syubbanul Wathan.

 Santri sejati adalah seorang nasionalis dan patriot; berideologi Pancasila, UUD tahun 1945, Bhineka Tunggal Ika, dan NKRI ‘sebagai harga mati.“Siapa datang mengancammu ‘kan binasa dibawah dulimu!” . Santri Nasionalis akan selalu menginterpretasi, mengaktualisasi, dan membumisasikan 'Sumpah Pemuda' dimana dan kapanpun berada; dunia nyata atau Maya tanpa beda. Salam Pemuda, salam Santri, salam sang Sang Pengabdi Abadi.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.