Peranan Perguruan Tinggi Untuk Demokrasi

Oleh Yoyo Hambali, Dosen Syariah Unisma Bekasi
 

Topik mengenai demokrasi tetap menarik untuk dibicarakan. Walaupun secara historis akarnya bisa dilacak ke masa Yunani sekitar abad ke-4/3 SM, tak dapat dipungkiri bahwa demokrasi merupakan produk dunia Barat modern yang telah mengundang perdebatan khususnya di dunia Islam.

Perdebatan  tentang apakah demokrasi sesuai (compatible) dengan Islam atau tidak nampaknya pelan-pelan nyaris tak terdengar lagi. Hal itu karena demokrasi telah diterima oleh mayoritas dunia Islam bahkan sebagian besar negara dengan mayoritas Muslim telah mempraktekan demokrasi terlepas di sana sini masih terdapat kelemahan.

Dengan demikian, demokrasi telah diterima sebagai suatu keniscayaan. Memang tidak sedikit para penulis Barat yang mengkaji tentang dunia Islam yang meragukan kesuksesan demokrasi di negara-negara Islam, bahkan di antara mereka ada yang berpandangan sangat pesimistis, misalnya sinyalemen yang mereka lontarkan bahwa demokrasi apabila dipraktekkan di dunia Islam akan mengalami kegagalan.

Pandangan seperti itu nampaknya sepintas beralasan apabila melihat dari sisi munculnya beberapa negara Islam yang masih bersifat diktator dan dikendalikan oleh kaum ulama ditambah dengan menguatnya fundamentalisme dan radikalisme keagamaan yang mereka anggap sebagai ancaman terhadap sistem demokrasi. 

Namun pandangan para penulis Barat seperti itu tidak terlepas dari bias orientalisme yang menempatkan dunia Islam sebagai objek yang harus dideskreditkan. Dunia Islam telah mempraktekan demokrasi setidak-tidaknya sebagai suatu proses menuju demokrasi (demokratisasi) sesuai dengan kriteria negara demokrasi sebagaimana dinyatakan oleh Samuel P. Huntington dalam The Third Wave: Democratization (Gelombang Demokratisasi Ketiga) (Samuel P. Huntington, 1991).

Dalam bukunya itu Huntington menjelaskan ciri-ciri suatu negara demokrasi sebagai berikut: Suatu negara  dikategorikan sebagai negara demokrasi sejauh para pembuat keputusan kolektif yang paling kuat dalam sistem itu dipilih melalui pemilu yang adil, jujur dan berkala, dan di dalam sistem itu para calon secara bebas bersaing untuk memperoleh suara dan hampir semua penduduk dewasa berhak memberikan suara.

Demokrasi juga mengimplikasikan adanya kebebasan sipil dan politik yaitu kebebasan untuk berbicara, menerbitkan, berkumpul dan berorganisasi.

Demokrasi juga memberikan tempat kepada oposisi; dijaminnya kebebasan pers dan menghindari penyensoran dan pembreidelan; kontrol yang efektif oleh warganegara terhadap kebijakan pemerintah, pemerintah yang bertanggung jawab, kejujuran dan keterbukaan dalam percaturan politik, musyawarah yang rasional dan didukung oleh informasi yang cukup, partisipasi dan kekuasaan yang setara, dan berbagai kebajikan warganegara lainnya (Huntington:1991).

Indikator-indikator dari Huntington itu dapat ditambahkan lagi sejauh sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi yaitu: kebebasan, persamaan, musyawarah, keadilan dan kesejahteraan.

Dimasukannya dua prinsip terakhir (keadilan dan kesejahteraan) menunjukkan bahwa suatu negara demokrasi tidak saja harus menjamin demokrasi politik bagi warganya tetapi juga demokrasi ekonomi.
 
Pentingnya indikator ekonomi dan kesejahteraan itu dikarenakan boleh jadi suatu negara berhasil memberikan kebebasan politik bagi warganya namun secara ekonomi kesejahteraannya masih rendah.

Dengan memperhatikan kriteria-kriteria di atas, muncul pertanyaan yang lebih menukik kepada konteks negara dan bangsa kita: Indonesia. Apakah Indonesia merupakan suatu negara demokrasi?

Jawabannya dapat mengacu kepada indikator-indikator yang dikemukakan di atas dan variabel-variabel yang dapat memperkuat apakah suatu negara termasuk Indonesia merupakan negara demokrasi atau bukan. 

Variabel-variabel tersebut sebagaimana dikemukakan Huntington lagi adalah tingkat kemakmuran ekonomi secara menyeluruh yang tinggi; distribusi pendapatan dan atau kekayaan yang relatif merata; ekonomi pasar; tiadanya feodalisme; borjuasi yang kuat; kelas menengah yang kuat; tingkat melek huruf dan pendidikan yang tinggi; adanya pluralism sosial; tingkat kekerasan yang rendah; pemimpin-pemimpin politik mendukung demokrasi sepenuh hati; tradisi toleransi dan kompromi; tradisi menghormati hukum  dan hak-hak individu; jaminan terhadap keberagaman etnis, ras dan agama; adanya konsensus dalam masalah politik dan social (Huntington,1991).

Dengan indikator dan variabel-variabel itulah Huntington memasukan Indonesia sebagai negara yang selama 15 tahun sejak tahun 1974 (masa Orde Baru), disejajarkan dengan Cina, Vietnam dan Birma sebagai negeri yang tidak melakukan demokratisasi.

Sayangnya, Huntington mengkaji perkembangan demokrasi di dunia modern itu hanya sampai tahun 1990. Padahal pasca 1990-an (1998) setelah tumbangnya rezim Orba, Indonesia mengalami suatu era baru yakni era reformasi di mana terjadi berbagai perubahan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara terutama dalam bidang politik.

Barangkali patut kiranya dikaji perkembangan demokrasi pasca 1990-an dengan menambah satu gelombang lagi selain tiga gelombang yang dikemukakan Huntiongton, misalnya gelombang ke-empat demokratisasi dan memasukan Indonesia pada gelombang ke-empat itu.

Secara historis Indonesia memang telah menerapkan beberapa sistem demokrasi: demokrasi parlementer bahkan sukses menyelenggarakan pemilu tahun 1955 dengan sistem multipartai; demokrasi terpimpin yang diawali dengan Dekrit Presiden, kembali ke UUD ‘45 pada tanggal 15 Juli 1959. Dekrit itu disusul dengan pidato kenegaraan 17 Agustus 1959, berjudul “Menemukan Kembali Revolusi Kita (Rediscovery of Our Revolution) yang disampaikan oleh pemimpin besar revolusi Bung Karno.  Namun demokrasi terpimpin telah menjadikan Indonesia terjerumus ke lembah kediktatoran. 

Masa Orde Baru, Indonesia menerapkan demokrasi Pancasila, walaupun pada kenyataannya masih jauh panggang dari api. Demokrasi Pancasila ternyata hanya menjadi alat kekuasaan yang menyebabkan Indonesia mengalami krisis multidimensional, terutama krisis moral dengan merajalelanya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).

Orde Baru berhasil membangun bangsa dalam aspek jasmaninya tetapi terbengkalai dalam aspek rohani dan moralnya. Padahal keberhasilan dan kekuatan suatu bangsa tidak saja terletak pada jasmaninya tetapi juga pada rohani dan moralnya. Dengan demikian, negara yang kuat adalah Negara yang sejahtera jasmani, rohani dan moralnya atau aspek raga dan jiwanya.

John Gardner, seorang cendekiawan Amerika yang pernah menjadi Menteri Kesehatan, Pendidikan dan Kesejahteraan dalam pemerintahan John F. Kennedy, mengatakan, “no nation can achieve greatness unless it believes in something, and unless that something has moral dimensions to sustain a great civilization” (tidak ada bangsa yang mampu mencapai kebesaran kecuali jika bangsa itu memiliki kepercayaan (agama) dan moral untuk menopang peradaban yang besar).

Krisis yang menimpa Indonesia pada akhir rezim Orba itu, dikatakan Nurcholish Madjid, mirip dengan kehancuran Kekaisaran Romawi sebagaimana ditulis oleh sejarawan Edward Gibbon dalam karya klasiknya The History of the Decline and Fall of the Roman Empire (Nurcholish Madjid, Indonesia Kita, Paramadina: 2004).

Berkat gerakan mahasiswa (dunia kampus) dan berbagai komponen bangsa lainnya, maka lengserlah Soeharto dan Indonesia memasuki era baru yaitu era Reformasi. Euforia reformasi bergaung di mana-mana yang ditandai dengan kebebasan dan keterbukaan. 

Keran demokrasi khususnya demokrasi politik yang dikekang pada masa Orba menjadi demikian terbuka. Indonesia memasuki era demokratisasi: era kebebasan dan keterbukaan. Walaupun secara ekonomi nampaknya belum memenuhi standar negara demokrasi karena tingkat kemakmuran dan pemerataan yang masih sangat rendah.
 
Apa yang Bisa Dilakukan Perguruan Tinggi (PT) ?

Dalam membangun demokrasi, peranan PT tidak bisa dipungkiri. Peranan yang bisa dimainkan adalah memberikan pendidikan politik kepada rakyat. 

Perguruan Tinggi merupakan institusi yang di dalamnya berkumpul kaum intelektual, para agen perubahan masyarakat. Kaum intelektual memiliki tugas untuk terjun ke tengah-tengah masyarakat sebagai bagian dari Tri Dharma Perguruan Tinggi yang dijamin oleh undang-undang.  

Undang-undang menyatakan bahwa salah satu fungsi pendidikan nasional adalah untuk mewujudkan warganegara yang demokratis serta bertanggug jawab (UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas, Bab II, Pasal 3). 

Karena itu, pendidikan hendaknya diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa (ibid, Bab III, Pasal 4).

Sebagai suatu institusi yang bertujuan untuk membentuk warganegara yang demokratis maka hendaknya perguruan tinggi dapat berada di garis terdepan yang menjunjung tinggi demokrasi. 

Salah satu wujud dari demokrasi di kampus adalah dijaminnya kebebasan akademik dan kebebasan mimbar akademik sebagaimana ditegaskan pada pasal 24 ayat 1 UU Sisdiknas: “Dalam penyelenggaraan pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan, pada perguruan tinggi berlaku kebebasan akademik dan kebebasan mimbar akademik serta otonomi keilmuwan”.

Dalam menjalankan perannya di masyarakat, perguruan tinggi dapat melakukan bebagai program dan aktivitas yang berkaitan dengan pemberdayaan masyarakat baik pemberdayaan politik maupun ekonomi. Paling tidak kampus dapat memberikan gagasan-gagasan cerdas bagi perubahan masyarakat. 

Dunia kampus dapat memberikan pencerahan kepada masyarakat mengenai pentingnya mewujudkan prinsip-prinsip dan indikator-indikator demokrasi sebagaimana dikemukakan di atas. Misalnya, kampus dapat menyampaikan akan pentingnya penghargaan kepada keanekaragaman sesuai dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika, toleransi, penghormatan kepada hukum dan hak-hak individu dan masyarakat, pemberantasan buta huruf dan peningkatan mutu pendidikan rakyat. 

Dunia kampus juga dapat melakukan kritik dan kontrol terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak berpihak kepada kepentingan rakyat (maslahat al-ammah). 

Dalam melakukan perannya itu, dunia kampus hendaknya dapat menghindari politik-politik kotor, bersikap netral dan semata-mata merupakan gerakkan moral (moral force). Berusaha sekuat mungkin untuk tidak ditunggangi oleh kepentingan manapun yang dapat merusak “misi suci” dunia kampus sebagai komunitas intelektual yang tercerahkan. 

Bila tidak menjaga misi sucinya itu sangat mungkin kaum intelektual akan terjerumus untuk  melakukan apa yang dikatakan oleh Jullien Benda sebagai pengkhianatan intelektual.

Perlu ditekankan, sebelum “orang kampus” terjun ke masyarakat, maka terlebih dahulu dunia kampus harus mencerminkan suatu lembaga yang benar-benar demokratis. Dengan memakai istilah dari John Dewey, filosuf modern asal Amerika, dunia kampus hendaknya melakukan “democracy of education (demokrasi pendidikan). 

Hal itu mesti dilakukan merujuk ungkapan Al-Qur’an, hendaknya dunia kampus menjadi “uswatun hasanah” (teladan yang baik) bagi masyarakat pada umumnya. 

Dalam konteks ini, kita diingatkan oleh tulisan Paulo Freire dalam bukunya The Politic of Education: Culture, Power and Liberation (Politik Pendidikan: Kebudayaan, Kekuasaan, dan Pembebasan) hendaknya lembaga pendidikan dapat menjadi sarana untuk membebaskan manusia dari penindasan dan dapat menumbuhkan kesadaran yang menjauhkan seseorang dari rasa takut. 

Karenanya, sejalan dengan prinsip demokrasi, hendaknya di kampus ditumbuhkan kebebasan.  Kebebasan itu ada dua macam, yaitu “kebebasan untuk” (freedom to) dan “kebebasan dari” (freedom from). “Bebas untuk” dalam artian bahwa dunia kampus harus menjamin kebebasan warganya untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran tanpa diskriminasi apapun;  bebas untuk berekpresi, bebas untuk mengeluarkan pendapat, berkumpul dan berorganisasi; bebas untuk mempelajari dan mengajarkan apapun yang berguna bagi peningkatan kecerdasan, kecakapan, dan perbaikan budi pekerti; bebas untuk beragama dan menganut kepercayaan yang dianutnya; bebas untuk memilih dan dipilih; bebas untuk memperoleh kesejahteraan lahir dan batin; dan kebebasan yang bernilai kebajikan lainnya sesuai dengan koridor hak asasi manusia dan undang-undang yang berlaku. 

Adapun “bebas dari” (freedom from) antara lain bebas dari kebodohan dan keterbelakangan; bebas dari rasa takut, penindasan dan eksploitasi manusia atas manusia (exploitation del’home parl’home), bebas dari pembungkaman pendapat dan pemaksaan; dan lain sebagainya yang bertentangan dengan hak asasi manusia dan undang-undang yang berlaku.  

Oleh karena itu, sebelum dunia kampus terjun ke masyarakat untuk berpartisipasi membangun demokrasi, maka dunia kampus hendaknya terlebih dahulu melakukan demokratisasi. Perguruan tinggi bahkan dapat menjadi miniatur terwujudnya demokrasi. Dari sinilah pendidikan demokrasi dapat dilakukan dalam skala yang lebih luas, masyarakat, bangsa dan negara. Wallahu a'lam.


*Gambar diambil dari internet untuk sekedar ilustrasi.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.