Metode Alternatif Penelitian Ilmu Sosial

Source: Pixabay.com

Keterampilan ilmuan sosial dalam mengumpulkan dan mengolah data di masa sekarang tidak bisa lagi hanya dilakukan dengan pendekatan dan metode konvensional. 

Menurut Profesor Jane Elliot (2016), CEO Economic and Social Research Council, ilmuan sosial perlu melakukan aktualisasi perangkat metodologi dan belajar dari berbagai disiplin ilmu lain  supaya dapat menghasilkan penelitian yang lebih berkualitas dan sesuai dengan kemutakhiran aspek-aspek kehidupan sosial.

Aktualisasi perangkat penelitian dapat dilakukan dengan memilih dan menerapkan metode-metode baru untuk melakukan penelitian. 

Metode baru ini digunakan karena lebih sesuai untuk mempelajari fenomena sosial yang menjadi objek kajian penelitian ilmu-ilmu sosial di masa sekarang. Fenomena tersebut mencakup antara lain avatar (virtual agent), komunitas daring, dan distribusi informasi dalam berbagai moda teks.

Pada tulisan ini, penulis akan menyajikan tiga metode populer yang dapat dilakukan untuk mempelajari fenomena sosial kemasyarakatan dan pendidikan. Penjelasan mengenai setiap metode akan terlebih dahulu dilakukan dengan  menyajikan ringkasan penelitian yang menggunakan metode tersebut. Ketiga metode yang akan dijelaskan adalah autoetnografi, jurnalisme sastrawi (literary journalism), dan pengembangan desain berlandaskan pada penelitian (reseach based design/RBD).

Autoetnografi

Peter Gouzouasis dan Diana Ihnatovych dari Univertas Bristish Columbia adalah dua instruktur musik. Dalam penelitian mereka berjudul The Dissonant Duet: An Autoethnography of a Music Teacher-Student Relationship (2016) mereka mengidentifikasi pentingnya saling percaya dan saling menghargai antara guru musik dan pemelajar untuk meningkatkan keahlian dalam bermain piano.

Dengan menggunakan metode autoetnografi, kedua instruktur tersebut menyajikan cerita mengenai interaksi mereka dengan pemelajar. Cerita yang disajikan dalam jurnal penelitian selain berbentuk naratif eksplanasi juga disertai dengan kutipan percakapan antara pembelajar dan pemelajar selama proses latihan piano.

Kedua instruktur mengumpulkan hasil wawancara, pengamatan, refleksi diri, refleksi hubungan sosial dengan pemelajar, serta produk yang dihasilkan pemelajar sebagai data. 

Hasil penelitian ini menunjukkan ekspresi perasaan, curahan pikiran, refleksi terhadap pedagogi serta proses belajar dapat menjadi tolak ukur keberhasilan instruksi selain performa pemelajar dalam memainkan piano.

Setelah membaca ringkasan penelitian autoetnografi, mudah-mudahan akan menjadi jelas apa dan bagaimana metode ini berkerja dalam mendukung penelitian ilmu sosial. 

Menurut peneliti dari Universitas Georgia, Kathy Roulston, autoetnografi adalah cara melakukan penelitian yang menempatkan diri peneliti di tengah-tengah kebudayaan yang sedang dianalisis.

Ditegaskan oleh Tony E. Adams, Carolyn Ellis, dan Stacy Holman Jones (2006), dalam penelitian autoetnografi peneliti menghubungan pengalaman dan pengetahuannya dengan konteks budaya dan fenomena sosial yang dialami selama berinteraksi dengan anggota masyarakat/kelompok dari budaya yang sedang ditelusuri.

Refleksi peneliti dilakukan dengan menggunakan ingatan tentang pengalaman, berbicara dengan anggota kelompok/masyarakat, menelusuri teks (gambar, jurnal, dan rekaman), termasuk mempelajari arsip dan artefak. Data yang diperoleh dari bahan tersebut kemudian disajikan secara deskriptif, interpretatif, dan self-critical (refleksi dan evaluasi diri).

Metode autoetnografi dalam penelitian ilmu sosial dapat digunakan untuk mengumpulkan informasi mendalam mengenai:

Kesan dan pengalaman pribadi peneliti selama menjadi bagian dari kebudayaan masyarakat,

Hubungan sosial yang dialami dan berkembang antara peneliti dengan anggota kelompok/warga masyarakat,

Pandangan dan pendapat masyarakat setempat yang diutarakan kepada peneliti,

Benda dan non-benda yang dihasilkan oleh peneliti dan warga masyarakat berhubungan dengan relasi sosial yang sedang diteliti,

Informasi pengalaman dan refelski pribadi yang dapat disajikan dalam bentuk narasi dan eksplanasi berbentuk cerita dalam bahasa sederhana yang bisa dipahami oleh non-akademisi.

Jurnalisme Sastrawi

Buku berjudul Jurnalisme Sastrawi: Antologi Liputan Mendalam dan Melekat (2008) yang diedit oleh Budi Setiyono dan Andreas Harsono merupakan buku rujukan terbaik di Indonesia yang pernah saya temukan mengenai jurnalisme sastrawi (literary journalism). Buku ini menyajikan tulisan jurnalis yang pernah dipublikasikan pada majalah Pantau.

Disajikan dalam bentuk cerita (pendekatan sastra) justru membuat liputan jurnalis tersebut terlihat begitu nyata sesuai dengan kondisi di lapangan pada saat peristiwa terjadi. 

Peristiwa-peristiwa faktual yang disajikan meliputi antara lain konflik Islam dan Kristen di Ambon, dinamika kebudayaan perusahaan penerbitan Tempo, dan perjuangan Band Koes Plus menghadapi pemerintahan Orde Baru.

Aktivitas jurnalistik di satu sisi memerlukan curahan waktu dan energi yang sangat besar untuk pengumpulan data. Di sisi lain, sastra menggunakan pendekatan narasi untuk menyajikan pesan. 

Kedua dikotomi ini dipadukan dalam pendekatan ini, sehingga metode narasi cerita digunakan untuk memperkaya dan sekaligus menyajikan pesan hasil penelitian yang dapat dibaca oleh akademisi maupun non-akademisi.

Dalam mengumpulkan informasi mengenai berita yang akan dilaporkan, jurnalis melakukan wawancara terhadap sejumlah besar narasumber. Jurnalis juga mengumpulkan dokumen pendukung, melakukan pengambilan gambar, serta rekaman. Selain itu, ketika menulis, jurnalis juga melakukan refleksi terhadap memori pengalamannya ketika mengumpulkan informasi di lapangan.

Dalam bukunya berjudul A Source of American Literary Journalism,  Thomas B. Connery menyatakan, jurnalisme sastrawi merupakan tulisan nonfiksi yang melakukan transformasi informasi dan peristiwa faktual dari tokoh-tokoh nyata, terverfifikasi ke dalam bentuk narasi dan teknik retorik yang berasosiasi dengan model yang umumnya ditgunakan pada fiksi. 

Cerita yang disajikan menggambarkan tokoh sesuai dengan kenyataan, diikuti dengan interpreasi dari penulis. Kutipan pernyataan tokoh adalah sesuai dengan yang dikemukakan kepada penulis/peneliti selama proses wawancara.  

Norman Sims dalam tulisannya The Literary Journalist  menyatakan jurnalisme sastrawi memungkinkan jurnalis menyajikan drama kehidupan nyata mengenai kehidupan masyarakat kebanyakan. 

Metode penyajian cerita ini melengkapi sajian tulisan jurnalistik lain yang umumnya didominasi oleh informasi mengeni institusi serta elite yang memiliki kekuatan atau pengaruh di dalam masyarakat.

Jurnalisme sastrawi dapat ditegaskan kembali merupakan tulisan nonfiksi dan dapat pula menjadi salah satu alternatif bagi penelitian ilmu-ilmu sosial. 

Penelitian ini dapat dilakukan dengan menelusuri dokumen dan artefak bersejarah, wawancara intensif dan mendalam, refleksi pengalaman tokoh dengan pengetahuan penulis, dan interpretasi terhadap msalah-masalah sosial dan politik yang dialami oleh orang-orang kebanyakan di dalam masyarakat.

Design-Based Research (DBR)

Ringkasan ini didasarkan pada penelitian yang dilakukan oleh Julia Shattuck dan terry Anderson (2013) dengan judul Using a Design-Based Research Study to Identify Principles for Training Instructors to Teach Online. Penelitian pengembangan ini berlangsung dari musim panas 2008 sampai dengan musim semi 2013.

Ada tiga tahapan yang dilalaui dalam proses penelitian DBR. Ketiga proses tersebut adalah sebagai berikut:

Tahap analisis kebutuhan meliputi tiga kegiatan utama, yaitu: (a) melakukan kajian pustaka mengenai kompetensi dan fungsi pengajaran daring, (b) melakukan survei terhadap 37 institusi penyelenggaran pendidikan tinggi di Maryland, Amerika Serikat, (c) melakukan interview terhadap 17 informan mengenai kegiatan belajar mengajar selama dua semester.

Tahap perancangan dan pengembangan meliputi kegiatan sebagai berikut: (a) pengembangan, desain, dan evaluasi proyek pendahuluan, (b) melaksakanakan pengajaran, (c) perbaikan rancangan berdasarkan informasi yang diperoleh dari survei pendapat pengguna dan refleksi perancang terhadap data yang bisa diamati melalui analitik informasi perserta dan kegiatan belajar.

Tahap evaluasi dan refleksi: (a) melakukan penyebaran kuisioner kepada alumni untuk evalusi proses belajar, (b) melakukan diskusi fokus group secara daring, dan (c) melakukan observasi dan interview untuk menilai manfaat praktis dari kelas yang telah dirancang. 

Ketiga tahapan penelitian DBR memang tidak jauh berbeda dengan penelitian pengembangan yang telah kita kenal. Namun, yang perlu mendapat perhatian dalam pelaksanaan penelitian ini adalah variasi dari kegiatan dan cara pengumpulan data. 

Pada umumnya DBR akan berlangsung dalam kurun waktu yang sangat lama. Oleh sebab itu tidak menutup kemungkinan, selama proses berlangsungnya tahapan DBR, hasil penelitian sementara pada tahapan tertentu dapat didesiminasikan atau dipublikasikan.

Menurut Wang dan Hannafin (2005), DBR bertujuan meningkatkan kualitas praktik di bidang pelatihan keterampilan melalui analisis interaktif, rancangan, pengembangan, dan implementasi atas dasar hubungan kerja sama peneliti dengan praktisioner untuk menghasilkan keselarasan teori dengan desain pembelajaran. 

Dengan demikian, temuan melalui DBR bisa saja tidak sesui dengan teori yang sudah ada dan bisa mematahkan teori tersebut. Hasil dari DBR juga bisa saja tidak menunjukkan hasil positif. Pada tahap evaluasi, maka desain perlu dirancang juga jika terjadi kegagalan.

Tidak ada keharusan di dalam DBR untuk melaporkan kesuksesan. Kegagalan dari hasil rancangan juga dapat saja dilaporkan dan didesiminasikan. Kegagalan ini menjadi bahan refleksi dan evaluasi untuk perbaikan rancangan. 

Rancangan yang gagal harus diperbaiki dengan mengidentifikasi kekurangan pada tahap-tahapan yang telah dilalui. Hasil dari DBT diharapkan dapat menyelesaikan permasalah nyata di bidang pendidikan, mengoreksi teori pembelajaran yang telah ada, melakukan perubahan progresif dalam praktik pendidikan, dan mengintegrasikan berbagai disiplin ilmu dan metode untuk menghasilkan rancangan dan inovasi baru di bidang pendidikan dan pengajaran.

Penutup

Peneliti ilmu-ilmu sosial perlu terus mengikuti perkembangan metode dan cara melakukan penelitian. Tanpa mengikuti perkembangan tersebut, peneliti akan terjebak untuk terus menerus menggunakan metode yang sama dan telah terbukti tidak efektif dalam menggali permasalahan aktual di dalam masyarakat. 

Pada tulisan ini disajikan tiga metode yang dapat dijadikan alternatif untuk mengeksplorasi femomena sosial mutakhir. Ketiga metode tersebut adalah autoetnografi, jurnalisme sastrawi, dan Design-Based Research.  

Paparan mengenai ketiga metode tersebut menunjukkan bahwa fenomena sosial dapat dieksplorasi secara lebih mendalam dan sajiannya bisa menjangkau pembaca yang lebih luas jika memadukan pendekatan interdisipliner, beragam moda pengumpulan data, dan penyajian hasil yang dapat dibaca dan dimengerti baik oleh akademisi maupun non-akademisi.

Oleh: Alam Semesta



Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.