Belajar dari Riwayat Al Ghazaly

Oleh Irham Yuwanamu


Siapa yang tak kenal dengan nama Imam Ghazaly. Dalam khasanah Islam nama tersebut populer seantero dunia, terutama bagi masyarakat Islam Indonesia, terutama lagi di pesantren. Beliau itu dijuluki hujjah al Islam, atau al Imam Al Jalil (Imam Besar). Di saat para ilmuan Islam mempertentangkan antara disiplin ilmu fiqh dan tasawuf, al Ghazaly mampu mensintesakannya. Ini yang selanjutnya dikembangkan oleh ulama Nusantara, yang tak mempertentangkan fiqh dan tasawuf. Banyak kyai yang ahli fiqh sekaligus seorang sufi.

Sebuah prestasi sendiri mampu mengintegrasikan dua hal itu. Al Ghazali pakar berbagai disiplin keilmuan, mulai dari disiplin ilmu aqidah, tafsir, fiqh, filsafat, psikologi, tasawuf dan disiplin ilmu Islam lainnya. Yang paling fenomenal karyanya yaitu Ihya Ulumuddin. Kitab ini masih dibaca, ditelaah, diperdebatkan dan rujukan utama kalangan sufi. Di pesantren dikaji untuk kalangan santri senior, karena kitab tersebut dianggap tingkat tinggi bahasannya, untuk bisa memahaminya dibutuhkan banyak ilmu yang mesti dipelajari terlebih dahulu.

Jadi kalau ngga mondok sampai jadi santri senior ya engga bisa merasakan ngaji karya al Ghazaly itu. Tetapi pada saat ini kita beruntung, tidak perlu mondok sampai bertahun-tahun bisa mengaji kitab itu, melalui pengajian online gus  Ulil Abshar Abdalla, yang dulu dedengkot JIL kita bisa mengikuti isi buku tersebut. Dalam pengajian online itu kitab ini dibahas dengan bahasa yang renyah dan mudah dipahami oleh kalangan awam. Pada dasarnya muatan dari kitab itu adalah membentuk akhlak lahir dan batin manusia. Karena itu semua orang bisa menangkapnya.

Kembali pada al Ghazaly. Ia dilahirkan pada tahun 450 H, di daerah yang namanya Thus. Engga tau sekarang desa ini masih ada apa tidak. Kalau dihitung hingga sekarang pada tahun 1440 H berarti sudah berabad abad usianya. Tapi hingga kini nama dan pikirannya masih di hati umat Islam dunia, khususnya Indonesia, artinya keberadaannya sebenarnya tidak mati.

Al Ghazaly sendiri itu bukan nama aslinya melainkan nama laqob (julukan). Ada menyebutnya al Ghazzaly (dobel z) ada al Ghazaly (tanpa dobel z) yang artinya tukang tenun. Nama lengkapnya itu Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al Thusy, Abu Al Hamid al Ghazaly. Nama kok bisa kembar-kembar gitu ya, dari cucu, ayah, kakek, sama yaitu Muhammad. Memang tradisinya orang sana itu begitu. Jadi sebutan al Ghazaly yang tukang tenun itu adalah ayahnya yang produknya dijual di toko yang ada di Thus.

Hematku al Ghazaly itu sampai sekarang masih hidup. Jalan pikirannya masih diperdebatkan di kalangan ilmuan, dijadikan guid hidup secara lahir dan batin oleh sebagian muslim dunia, jadi inspirasi, seakan tak pernah lekang dengan waktu sampai kapan pun. Saya tak membahas bagaimana perjalanannya dalam belajar dan pada saat berkarya atau melahirkan buah pikir.

Sudah banyak orang yang membahasnya itu. Pada saat aku membaca riwayatnya, yang aku tertarik itu bahwa keberhasilan Al Ghazly selain berhasil dalam proses pendidikannya sehingga bisa menjadi ulama berpengaruh di seantero dunia yang lernah menjadi Rektor Universitas Al Nidhamiyyah, yaitu keberhasilan sang ayahnya. Berhasil dalah hal apa, yaitu dalam penataan batin ayahnya untuk menjadikan AlGhazaly sukses. Ini penting sekali dalam dunia pendidikan. Ini bisa menjadi teori dalam mendidik anak, perilaku lahir dan batin orang tua merupakan bagian dari pendidikan anak. Berbeda dengan teori barat proses pendidikan hanya berkisar pada metode belajar dan mengajar saja yang terlepas dari ikatan batin orang tua.

Al Ghazaly pernah menceritakan kondisi ayahnya, yaitu orang  yang faqir, nan baik (salih). Ayahnya itu tidak mau memakan makanan kecuali dari hasil kerjanya sendiri yaitu hasil kerja menenun. Artinya yang ingin dimakan itu dari hasil yang benar benar halal. Itu saking menjaga dirinya agar tidak kemasukan barang panas/haram. Begitu juga yang dikasihkan kepada sang anaknya Al Ghazaly. Ayahnya itu suka berkeliling memperkaya ilmu, bersedia selalu untuk khidmah yang berhubungan dengan ilmu, serius untuk berbuat kebaikan.

Ayah imam Ghazaly selalu berdoa kepada Allah, agar diberikan rizqi anak laki yang sangat faqih.  Ayahnya ini rajin menghadiri majlis ilmu dan pada saat itu ia selalu menangis dan berdoa agar diberikan rizqi dalam bentuk anak yang sangat pandai untuk berdakwah atau memberikan nasihat nasihat bijak. Doa orang tuanya ini berhasil seperti yang bisa kita ketahui dan kita akui dari Imam Ghazaly itu.

Ringkas kata bahwa kalau ingin memiliki anak yang hebat cerdik pandai, alim allamah, salih, dikenang masyarakat luas, tidak mati buah pikirnya dan bisa perpengaruh sepanjang masa seperti al Ghazaly ini, ya lakukan seperti yang dilakukan oleh ayahnya. Berikan rizqi yang halal pada keluarga, tidak tercampur dari yang subhat ataupun yang haram, bersihkan diri penyakit batin. Menjadi orang tua yang ingin bersih lahir dan batinya. Ini bagian dari metode mendidik anak.

*gambar diambil dari google

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.