Menangkal Ekstrimisme-Kekerasan Melalui Pendidikan

Oleh: Dr. phil, Suratno, M.A
Dosen dan Ketua The Lead Institute Universitas Paramadina


Pertama-tama saya ingin mengucapkan “Selamat Hari Pendidikan Nasional” Tahun 2019, semoga pendidikan di Indonesia makin manusiawi dan makin maju. 

Sebagai dosen dan peneliti yang konsern dengan isu ekstremisme-kekerasan, saya ingin mengatakan bahwa salah-satu tantangan dunia pendidikan di Indonesia saat ini adalah bahwa dunia pendidikan kita belum steril dari infiltrasi ekstrimisme kekerasan baik dari aspek kurikulum, proses pendidikan, tenaga kependidikan, sarana-prasarana maupun pengelolaan pendidikan. 

Dengan kondisi seperti itu, dunia pendidikan yang diharapkan bisa menjadi media untuk menangkal ekstremisme-kekerasan menjadi belum bisa melaksanakan perannya secara optimal. Untuk tujuan itu, saya ingin memberikan beberapa catatan yang saya kembangkan dari laporan riset saya berjudul “Infiltrasi Ideologi Ekstrimisme Kekerasan di Dunia Pendidikan di Indonesia” (Suratno, 2018).

Pertama, dari aspek kurikulum kita harus memastikan bahwa Pendidikan Agama Islam (PAI) harus sejalan dengan komitmen pemerintah untuk mengembangkan keIslaman yang moderat atau Islam Washatiyyah. Sebab misalnya menurut hasil survey PPIM UIN Jakarta (2016) para siswa merasa PAI belum secara sepenuhnya memberikan wawasan keIslaman yang moderat. 

Sementara itu, ditengah narasi Ekstrimisme-Kekerasan yang makin massif dan sejalan dengan itu ada penurunan semangat nasionalisme khususnya dikalangan pelajar sesuai hasil survey Setara Institute (2016), maka harus ada revitalisasi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKN). 

Pelajaran PPKN harus mendapatkan perhatian serius dari dunia pendidikan agar bisa menjadi media internalisasi yang menarik dan efektif bagi para siswa dalam menumbuhkan jiwa nasionalisme mereka.

Hal lainnya adalah beberapa temuan dilapangan bahwa “religiusisasi kurikulum 2013 dan revisi-nya tahun 2016” misalnya kompetensi inti 1 (KI-Spiritual) bahwa pendidikan matematika, Ilmu Pengetahuan Alam dan lainnya untuk meningkatkan iman dan taqwa, ternyata telah disalah gunakan oleh segelintir oknum guru yang memiliki ideologi anti-Pancasila dan atau ekstrimisme kekerasan untuk menyelipkan ideologi itu dalam pelajaran-pelajaran yang sebenarnya tidak terkait langsung dengan bahasan ideologi itu.

Kedua, dari aspek proses pendidikan, selain infiltrasi ekstrimisme-kekerasan di ruang kelas ternyata survey Setara Institute (2016) dan Wahid Foundation (2017) menemukan bahwa kegiatan ekstra-kurikuler terutama kerohanian-Islam di beberapa sekolah-sekolah umum terindikasi di susupi oleh ideologi ekstrimisme-kekerasan. 

Tentu ini tidak bermaksud menggeneralisir semua rohis karena banyak sekali rohis yang memberikan pemahaman keIslaman moderat dan sangat bermanfaat bagi peningkatan pengetahuan keIslaman dan penghayatan serta pengamalan keagamaan siswa khususnya disekolah-sekola umum. 

Terkait infiltrasi ekstrimisme-kekerasan dibeberapa rohis sekolah umum, ditemukan bahwa pintu masuknya mulai dari alumni sekolah, mahasiswa bukan alumni dikota yang sama dengan sekolah, guru PAI atau guru umum yang diantara mereka itu menjadi pembimbing atau pembina ekstrakurikuler rohis. Padahal survey Setara Institute (2016) menemukan bahwa rohis ternyata telah menjadi ekstrakurikuler favorit dikalangan para siswa. 

Solusinya salah satunya adalah bahwa kepala sekolah dan atau wakil kepala sekolah bidang kesiswaan sebagai penanggung jawab ekstrakurikuler rohis disekolah harus selalu memantau dan mengamati dinamika rohis. Jadi begitu terlihat ada indikasi yang mengarah ke infiltrasi ekstrimisme-kekerasan, mereka bisa segara mengambil tindakan tegas. 

Solusi lainnya adalah, dengan merevitalisasi ekstrakurikuler yang secara langsung memiliki muatan nasionalisme seperti pramuka, paskibraka dan lainnya sehingga menjadi kegiatan yang menarik untuk para siswa dan secara efektif menjadi media internalisasi semangat cinta tanah air. Apalagi setelah keluar Peraturan Mendikbud No 63 Tahun 2016 tentang Pramuka sebagai kegiatan wajib melalui model blok, aktualisasi dan regular, maka itu semestinya bisa dimanfaatkan untuk tujuan tersebut.  

Teraakhir, secara paradigmatik, kita bisa melihat bahwa proses pendidikan di Indonesia belum optimal dalam menumbuhkan kritisisme di kalangan para siswa. Padahal, nalar kritis seseorang bisa menjadi banteng/perisai yang efektif ketika berhadapan dengan ideologi ekstrimisme-kekerasan. 

Selain meningkatkan kritisisme terutama dikalangan para guru sebagai ujung tombak dunia pendidikan, ada beberapa pihak yang mengusulkan pelajaran filsafat untuk pendidikan menengah atas seperti dilakukan oleh negara-negara maju. Tetapi tentu saja usulan ini harus dipertimbangkan dulu secara matang. 

Ketiga, dari aspek tenaga kependidikan, cukup mencengangkan juga bahwa dari hasil riset LAKIP (2013) dan PPIM UIN Jakarta (2017) ditemukan ada sebagian guru yang setuju dan atau bahkan terindikasi telah terpapar ideologi ekstrimisme-kekerasan. Yang unik mereka termasuk didalamnya ada yang Aparatur Sipil Negara (ASN). Bisa kita dibayangkan kalau para guru telah terpapar ideologi ekstrimisme-kekerasan tentu dikhawatirkan akan sangat berimbas kepada para siswanya. 

Salah satu solusinya adalah peningkatan kualitas para guru termasuk mulai dari perekrutan. Secara khusus sejak awal perekrutan para guru terutama yang ASN harus ada screening tentang aspek nasionalisme mereka. Kemudian untuk para guru juga perlu mendapatkan media untuk merawat dan mengembangkan jiwa nasionalisme mereka. 

Sementara itu secara umum, peningkatan kualitas guru harus dibarengi dengan peningkatan kesejahteraan mereka. Jamak diketahui bahwa banyak guru di Indonesia, apalagi yang honorer, mereka gajinya kecil bahkan ada yang tidak manusiawi sehingga tentu saja amat ironi jika masih ada kondisi seperti itu tapi kita berharap peningkatan kualitas para guru. Tugas pemerintah untuk memastikan bahwa para guru di Indonesia tidak hanya makin berkualitas tapi juga makin sejahtera. 

Keempat. Dari aspek sarana-prasarana, publik seringkali terkejut manakala menemukan buku-buku pelajaran, lembar kerja siswa/LKS, bahkan soal-soal ujian yang bermuatan ideolgi ekstrimisme kekerasan.  

Hasil riset Setara Institute (2017)  dan PPIM UIN Jakarta (2016) menemukan ada sebagian buku-buku pelajaran yang bermuatan intoleransi dan bahkan ekstrimisme. Pernah ditemukan buku untuk anak TK yang sudah belasan tahun beredar ternyata bermuatan ideologis ekstrimisme. DItemukan juga lembar kerja siswa untuk SMA bermuatan ekstrimisme dan lainnya. 

Kunci dari problem ini adalah lemahnya pengawasan oleh pihak-pihak terkait. Pemerintah melalui Pusat Perbukuan baik di Kemendikbud maupun Kemenag harus memastikan bahwa buku-buku, LKS dan soal ujian serta material pembelajaran lainnya harus steril dari muatan ideologi ekstrimisme-kekerasan. Ketika ditemukan pelanggaran, harus segara ditarik dari peredaran, diusut pelakunya dan diberi sanksi atas pelanggaran tersebut. 

Kelima, dari aspek pengelolaan sekolah, kepala sekolah sebagai penanggung jawab disekolahnya masing-masing harus memastikan bahwa sekolah steril atau bebas dari ideologis ekstrimisme kekerasan. Beberapa waktu lalu bahkan ada deklarasi dari beberapa sekolah yakni “sekolah bebas radikalisme”. 

Tentu saja deklarasi saja akan sia-sia jika tidak di ikuti oleh langkah-langkah konkrit dan sistematis dalam menangkal ekstrimisme di sekolah. Para kepala sekolah harus lebih kreatif dan inovatif dalam upaya tersebut. Selain itu koordinasi dengan para guru dan staf sekolahjuga harus dilakukan secara rutin karena menangkal ekstrimisme disekolah harus dilakukan secara bersama-sama.

Selain itu juga keterlibatan orang tua dalam proses pendidikan anak mereka disekolah melalui komite sekolah dan perkumpulan wali murid harus makin di intenskan. Secara umum sekolah-sekolah yang memiliki koordinasi bagus dengan para orang tua siswa bisa bersama-sama mensterilkan para siswa dari ideologi ekstrimisme tidak hanya disekolah tapi di rumah dan lingkungan sekitarnya. 

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.