Kualifikasi Guru Menurut Tasawuf Untuk Pendidikan Karakter


Oleh Irham, Unisma Bekasi dan Yudril Basith, UIN Jakarta.




Kualifikasi guru yang dikehendaki para ahli tasawuf bukan seperti guru pada umumnya yang menggunakan kualifikasi formal, misalnya dengan dibuktikan ijazah, sertifikat maupun keahlian. Guru sufi lebih mengutamakan kriteria secara batini maupun akhlaqi (morality). Terkait dengan ini Abdullah Al Asyarqowi dalam Sharah Hikam menguraikan secara panjang. Misalnya seorang guru harus mengerti kebiasaan murid dan mampu menguasahi dan mengendalikan intelektualitasnya. Guru harus mengerti apa yang ada di dalam isi hati dan pikiran murid, baik secara emosional maupun spiritual. 

Guru harus mengerti penyakit-penyakit hati dan obatnya. Kemudian mengerti caranya untuk menjaga manusia/murid dari gangguan setan dalam hati. Selain itu guru sudah tentu harus makrifat dan memiliki budi pekerti sesuai dengan sifat-sifat Allah. Apabila di antara kualifikasi ini tak terpenuhi maka guru dapat membuat kerusakan/madharat kepada murid maupun manusia secara umum (Syarqowi, n.d.:231–38). Jadi kualifikasi ini menunjukkan guru mesti memiliki kualitas tinggi pada sisi spiritualitas, emosional, intelektual, dan akhlak dalam kehidupan sehari-hari.    

Lebih rinci lagi Hasyim Asyari menekankan bahwa guru harus memiliki etika luhur yang melekat pada dirinya. Etika luhur ini  terdiri dari tiga bentuk, pertama etika yang harus dimiliki oleh diri seorang guru itu sendiri. Kemudian etika guru yang harus dilakukan sebelum proses pembelajaran dimulai, dan ketiga etika guru berhubungan dengan muridnya. 

Pada etika pertama yang harus dipenuhi seorang guru yaitu mengistikomahkan dirinya dalam mendekatkan diri kepada Allah, takut dan selalu berhati-hati dalam segala perbuatan, memiliki ketenangan jiwa, bersifat wirai, bertawadhu’, khusyu’ dan bertawakkal kepada Allah, ilmu dijadikan sebagai sarana untuk mencapai cita-cita, tidak silau atas duniawi, dan memiliki sikap zuhud atas duniawi. Guru harus menjahui persoalan-persoalan yang bersifat hina, kemudian menjaga syiar Islam serta menghidupkan ibadah-ibadah sunnah, bergaul terhadap sesama dengan akhlak mulia, membersihkan diri dari penyakit-penyakit hati seperti sombong, pamer, iri hati, dengki, serta tak sabar diri (Asyari n.d.:55–70)

Tidak hanya itu, pada proses pembelajaran sebagai etika yang kedua, Pendiri NU itu menambahkan beberapa hal yang harus dilakukan guru dan yang paling penting adalah etika sebelum proses pembelajaran itu dimulai. Misalnya, pada saat hadir dalam majlis ilmu (tempat perkuliahan/sekolah) guru mesti suci dari hadas besar maupun hadas kecil. Saat ke luar rumah menuju ke tempat pembelajaran mesti berdoa agar dihindarkan dari kesesatan, kebodohan, disertai berdzikir dengan tawakkal kepada Allah. 

Apabila sudah berada di lokasi belajar menyampaikan salam, kemudian apabila memungkinkan menghadap kea rah kiblat. Selain itu guru mesti jujur, apabila ada persoalan yang rumit dan tak mampu menjawab, maka harus mengatakan tidak bisa/atau belum bisa, jangan sampai karena malu sehingga menjawabnya asal-asalan tanpa dasar ilmu. Ini dapat menjerumuskan anak didik. (Asyari n.d.:71–77). Ini semua berhubungan dengan integritas yang wajib melekat pada diri guru. 

Selanjutnya etika terkait dengan relasi guru kepada muridnya yakni, langkah awal yang perlu dibangun yaitu membersihkan hati dan meluruskan niat dengan ikhlas untuk belajar dan mengajar karena Allah, menyebarkan ilmu, dan menghidupkan agama Allah demi menegakkan kebenaran, kebaikan, dan menjahui kebatilan. Kemudian mencintai muridnya seperti mencintai dirinya sendiri, mempermudah urusan murid, memberikan pemahaman dan berbicara secara baik, memperlihatkan perhatiannya dan mengutamakan kepentingan murid dengan penuh kasih sayang. 

Bersikap tawadhu’ kepada murid dan kepada orang yang meminta petunjuk (Asyari n.d.:80–95). Upaya ini dilakukan agar proses pembelajaran berajalan lancar, ilmu yang diberikan bermanfaat, dan guru menjadi teladan, hingga akhirnya murid menjadi orang yang berhasil. Jadi dalam hal ini bisa dikatakan bahwa materi belajar maupun metodologi pembelajaran itu sangat penting akan tetapi ada yang lebih penting lagi yaitu seorang guru. Kualitas pribadi seorang guru yang bakal menentukan luaran murid yang dihasilkan. Guru sebagai kunci dalam pendidikan.

Penekanan terhadap apa yang harus dimiliki guru ini menunjukkan bahwa tingkat moralitas dan spiritualitas seorang guru itu lebih utama. Baru kemudian sisi intelektualitasnya atau pemahaman ilmu. Bahkan antara ilmu, amal dan kebeningan hati harus berjalan seiring dan melekat pada diri guru, tidak boleh ada yang lebih rendah di antaranya itu. Logika yang bisa disampaiakan bahwa mengajarkan tasawuf adalah mengajarkan akhlak secara lahir maupun batin, akan tetapi kualitas moralnya yang mendidik masih rendah, lalu bagaimana dengan muridnya nanti. Maka dari itu guru adalah titik pusatnya dalam membangun karakter anak didik.


Imam Ghazaly telah menegaskan bahwa setiap orang yang alim (cerdik cendekia/sarjana) belum tentu pantas untuk menjadi guru. Kepantasan menjadi guru bukan hanya diukur dari ilmu atau wawasan yang dimiliki, akan tetapi ada beberapa karakter yang mesti melekat. Di antaranya orang yang mampu memalingkan diri dari kecintaan terhadap duniawi dan prestise atau popularitas dunia, selanjutnya selalu melatif diri (riyadhoh nafsi) dengan menyedikitkan makan, bicara, tidur dan selalu memperbanyak dzikir, bersedekah, serta puasa. 

Selain itu memiliki jiwa sabar, syukur, tawakkal, yakin (optimis), qanaah, berjiwa tenang, dermawan, bertawadhu’, berilmu, jujur, dan sifat-sifat lainnya yang melekat pada para rasul-rasul. Apabila sudah menemukan guru yang seperti ini, nasehat al Ghazaly ikutilah, jangan membatahnya, muliakanlah secara lahir dan batin (Ghazaly, 2011:169–70). Berikutnya yang perlu dibahas selain kualifikasi guru menurut pandangan sufi, yakni terkait dengan relasi antara guru dan murid. 

Tulisan ini merupakan bagian dari artikel yang berjudul "REVITALISASI MAKNA GURU DARI AJARAN TASAWUF DALAM KERANGKA PEMBENTUKAN KARAKTER" yang diterbitkan oleh jurnal Ulul Albab UIN Maliki Malang 2018, secara lengkap artikel ini dapat diunduh melalui https://www.researchgate.net/publication/325985555_REVITALISASI_MAKNA_GURU_DARI_AJARAN_TASAWUF_DALAM_KERANGKA_PEMBENTUKAN_KARAKTER
   

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.