Teliti Pesantren Salaf, Peneliti Muda Raih Gelar Doktor di UIN Jakarta



Pada hari Senin 16/7 diselenggarakan promosi doktoral di auditorium SPs. UIN Jakarta dengan judul disertasi, Dinamika Islam Tradisional: Respon Pesantren Salafiyah Terhadap Agenda Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia yang ditulis oleh Saudara Iksan. Penelitian tentang pesantren memang selalu menarik untuk diteliti. Sebagaimana peneliti-peneliti lain dari luar dan dalam negeri, Iksan K. Sahri, peneliti muda pesantren ini mengambil kajian antropologi pesantren untuk meraih gelar doktor-nya di UIN Jakarta.

Dalam disertasinya Iksan memaparkan pada bagaimana sistem kepemimpinan dilakukan di pesantren, apa dibalik kurikulum pesantren yang diajarkan, bagaimana mereka merespons upaya intervensi negara, dan bagaimana mereka mentransformasikan idealitas mereka dalam dunia kekinian.

Dalam sidang promosi yang dipimpin oleh Prof. Dr. Masykuri Abdillah, Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta yang sekaligus  ketua PBNU itu, Iksan menyatakan bahwa pemilihan kitab kuning tidaklah dilakukan secara random (acak) tapi dilakukan dengan tujuan tertentu, yaitu dilakukan untuk mentransformasikan ideologi Islam Tradisional melalui ragam cabang keilmuan di pesatren yaitu fikih, usul fikih, tafsir, ilmu tafsir, hadis, sejarah, akidah, dan akhlak tasawuf. Sedikit menambahkan, Iksan menyatakan bahwa al-Jilani bersama al-Ghazali lebih berpengaruh di pesantren Indonesia dibanding Junaid al-Baghdadi. Kitab al-Ghazali dan al-Jilani banyak ditemui dibanding kitab Junaid al-Baghdadi yang hanya didapat dari komentar orang lain.

Sedangkan dalam relasi pesantren dengan pemerintah Indonesia, pihak pesantren salaf mengambil jarak dari sistem walau akhirnya jarak itu sekarang telah semakin dekat. Relasi antar keduanya juga membaik belakangan ini. Walau begitu, Iksan menyatakan bahwa yang lebih mempengaruhi sikap pesantren terhadap negara bukanlah intervensi negara yang bersifat direct (langsung) tapi lebih pada kebutuhan masyarakatnya yang cenderung berkembang.

Teliti Ideologi Kitab Kuning
Meneliti pesantren tidak terlepas dengan kitab kuning. Kitab kuning adalah kitab khas kaum pesantren yang ditulis dengan huruf Arab pegon. Biasanya kitab ini terbagi dalam kitab matan (dasar), syarah (menengah), hasiyah (tinggi), dan mukhtasar (ringkasan).

Dalam ujian promosi doktoral yang berlangsung, salah satu bahasan Iksan yang menarik dalam disertasinya adalah pada bagaimana ideologi yang terkandun dalam kitab kuning dan dianut serta diajarkan di pesantren tradisional. Iksan mencoba melihatnya dari kacamata antropologi pendidikan.

Menurutnya terdapat kandungan ideologi Islam Tradisional yang terkandung dalam kitab-kitab kuning yang diajarkan di pesantren tradisional. Kandungan itu terjabarkan dalam mata rantai kurikulum yang dikembangkan oleh pihak pesantren. Dalam konteks pesantren tradisional, Iksan menyatakan bahwa implementasi ideologi Islam Tradisional itu termanifestasikan dalam teologi asy’riyah maturudiyah, menganut mazhab fikih tradisional, menerima ajaran tasawuf, dan memiliki cara pandang kesejarahan Islam dari sisi Sunni yang mengakui empat kekhalifahan awal dalam Islam.

Walau sama-sama berupaya mempertahankan kitab kuning di institusi pendidikannya. Pesantren menurutnya memiliki respons yang berbeda terkait upaya intervensi negara terhadap tata kelola pendidikannya. Ia menegaskan bahwa respons pesantren tersebut lebih dipengaruhi oleh kebutuhan masyarakatnya yang cenderung berkembang dibanding pengaruh intervensi negara secara langsung.

Iksan juga menemukan bahwa terdapat perbedaan antara pembelajaran di pesantren salaf 30 tahun yang lalu dengan pesantren salaf yang sekarang. Jika dahulu semua pembelajaran berjalan  secara konvensional maka sekarang pesantren lebih transformatif dengan cara pengadaan kelas matrikulasi, akselerasi, dan pengembangan metode pembelajaran yang berbasis konten dibanding berbasis judul kitab.

Apa yang dilakukan Iksan K. Sahri ini meneruskan penelitian pesantren lagendaris lainnya yaitu Zamakhsyari Dhofier yang meneliti Tradisi Pesantren, Bruinessen yang meniliti kitab kuning dan tarekat, Mastuhu yang meneliti kepemimpinan di pesantren, dan peneliti-peneliti pesantren lain baik dari luar dan dalam negeri. Sedikit yang membedakan Iksan dengan mereka adalah kenyataan bahwa Iksan sendiri adalah orang pesantren, sehingga penelitiannya lebih tepat disebut sebagai penelitian pesantren dari sisi insider (orang dalam) - Red.
 



Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.