Sumber dan Solusi Memberangus Radikalisme di Sekolah dan Kampus (Bagian 1)
Oleh Mamang M Haerudin (Aa), Pesantren Bersama Al-Insaaniyah
Catatan ini sengaja saya tulis selain untuk mengeluarkan kegelisahan, berikut juga untuk keperluan acara 'Tadarus Pendidik' yang akan digelar pada 8 Juni 2018, bertempat di Cafe Moza, Sumber oleh LP Ma'arif NU Kabupaten Cirebon. Saya pikir, acara ini sangat tepat untuk digelar, mengingat infiltrasi radikalisme ke sekolah dan kampus semakin membahayakan.
Apalagi sekarang kita sedang dalam konteks bulan suci Ramadan, refleksi dan solusi dari berbagai pihak atas permasalahan serius ini betul-betul mendesak diperlukan. Dinas Pendidikan Kabupaten Cirebon dan umumnya masyarakat, sudah seharusnya menyambut dan mendukung acara yang diadakan LP Ma'arif NU Kabupaten Cirebon ini.
Radikalisme di sekolah dan kampus itu--disadari atau tidak--merupakan turunan dari radikalisme dalam skala nasional yang telah lama dibiarkan. Radikalisme berbeda dengan terorisme, meskipun terorisme bersumber dari radikalisme.
Kalau terorisme bentuk kejahatannya begitu nyata, kejahatan radikalisme justru seperti 'belut'; ia licin dan mampu meneduh di bawah ketiak demokrasi. Radikalisme semakin menemukan momentumnya, ketika pihak sekolah dan kampus terjebak rutinitas dan menjauhi budaya literasi. Sekolah dan kampus kita sangat miskin literasi.
Radikalisme di sekolah dan kampus, selain berasal dari faktor eksternal, ia juga bersumber dari faktor internal. Yakni sejumlah guru dan dosen yang berhaulan radikal. Bukan hanya para guru agama, melainkan juga para guru mata pelajaran yang lain.
Fenomena 'hijrah' di luar, memengaruhi orientasi religiusitas sekolah dan kampus. Apalagi kalau para guru dan dosennya tidak punya latar belakang pendidikan pesantren.
Sampai kemudian fenomena hijrah atau Islamisasi di sekolah dan kampus ini dijadikan alat untuk menutupi kebobrokan sekolah dan kampus. Islamisasi (ke arah radikalisasi) ini yang dipastikan menjadi obat mujarab untuk mengubah imej sekolah dan kampus agar terlihat religius.
Yang paling kentara adalah organisasi Rohis di sekolah dan LDK di kampus. Dua organisasi religius ini ternyata cukup efektif dalam memenuhi 'dahaga agama' di lembaga pendidikan.
Organisasi bernuansa Islam lain, baik yang berafiliasikan ormas NU dan Muhammadiyah, maupun yang lain, dianggap sekuler dan liberal. Berikut juga 'dakwah' yang ditampilkan kita tidak 'ngepop.'
Apalagi pelajar dan mahasiswa yang lekat dengan kenakalan dan pergaulan bebas. Rohis dan LDK dianggap lebih netral dan Islami. Bahkan pemilahan nama organisasinya (Rohis dan LDK) pun seolah-olah terbuka bagi siapapun, sebagai organisasi yang tidak fanatik ormas dan mazhab.
Wallaahu a'lam
Tidak ada komentar