KH. Abdullah Zen Salam: Tokoh Pesantren di Kajen Pati


Oleh Jamal Ma’mur Asmani

Rabu malam kamis, 24 Sya’ban 1439 H./ 9 Mei 2018 yang lalu diselenggarakan haul KH. Abdullah Zen Salam Al-Hajaini dan Hj. Aisyah Abdullah di Pondok Pesantren Mathali’ul Huda (PMH) Pusat.

Kenangan Penulis dengan KH Abdullah Zen Salam berlangsung, khususnya ketika Penulis belajar di Kajen.  Penulis tidak lama di Kajen, kurang lebih 3 tahun, mulai tahun 1995 sampai 1998 di Pondok Pesantren Raudlatul Ulum yang diasuh oleh KH. Ahmad Fayumi Munji al-Maghfurlah dan Ibu Hj. Yuhanid Fayumi al-Maghfurlaha dan sekarang diteruskan oleh KH. Ismail Fayumi (Gus Mail) dan KH. Abdullah Umar Fayumi (Gus Umar).

Sewaktu penulis belajar di Perguruan Islam Mathaliul Falah (PIM) Kajen, KH. Abdullah Zen Salam sudah tidak mengajar lagi. Hanya ketika testing al-Qur’an dan kitab yang kebetulan bertempat di ndalem kasepuhan KH. Abdullah Zen Salam, penulis bisa menatap wajah sosok ulama kharismatik ini. Kesempatan lain adalah ketika penulis dereake (mengikuti) beliau saat membaca tahlil di makam Syekh Ahmad Mutamakkin setiap malam jum’at bersama para santri dan masyarakat yang menunggu beliau. Juga ketika menunaikan shalat jum’at di masjid Kajen, bisa melihat beliau dan mushafahah (bersalaman) dengan niat tabarrukan (ngambil berkah) sebagaimana santri pada umumnya.

Sang Pemimpin

KH. Abdullah Zen Salam, sebagaimana disampaikan KH. Abdullah Umar Fayumi dalam Talkshow Tasawuf Kajen di Ma’had Aly PP. Maslakul Huda Kajen yang diadakan oleh Panitia Muktamar Keluarga Mathaliul Falah (KMF) tahun 2017, adalah sosok pemimpin yang mampu mengatur irama dakwah yang ada di Kajen dan sekitarnya. Beliau mampu membagi peran para kiai sesuai potensinya masing-masing untuk meramaikan dan memajukan desa Kajen sebagai kota santri yang menjadi sumber ilmu dan hikmah yang dicari oleh para pencari ilmu dari seluruh penjuru Nusantara.

KH. Abdullah Zen Salam menjadi pemimpin para kiai dengan spesifikasi kajian al-Qur’an dan tafsir, KH. MA. Sahal Mahfudh tampil sebagai kiai pakar fiqh, KH. Ahmad Fayumi tampil sebagai kiai pakar falaq (ilmu astronomi), KH. Ma’mun Muzayyin tampil sebagai pakar fiqh yang mampu menjadi komunikator ulung di tengah masyarakat, KH. Faqih Salafiyah tampil sebagai sosok kiai yang sejuk dan damai, KH. Muzammil Thohir-KH. Muadz Thohir tampil sebagai sosok kiai yang pakar fiqh-hadis, kaya wawasan, dan mampu bermasyarakat dengan baik.

Peran ini, kata Gus Umar, melanjutkan peran yang dilakukan Syekh Ahmad Mutamakkin pada masanya yang mampu memimpin para kiai dengan potensi yang beragam dalam sinergi dakwah yang konstruktif. Pada masa Syekh Ahmad Mutamakkin, tampil beberapa kiai terkemuka, seperti Syekh Ronggokesumo yang menggerakkan dunia bisnis dan perdagangan di Ngemplak Kidul dan sekitarnya, dan juga Syekh Mizan yang menggerakkan dunia pertanian di daerah Margotuwu dan sekitarnya.

Ketika penulis melakukan wawancara dengan banyak kiai dalam rangka menyusun Sejarah Perguruan Islam Mathali’ul Falah tahun 2012, penulis mendapat banyak informasi dari KH. Ma’mun Mukhtar, KH. Thoyyib Daiman, dan Bu Hj. Zuyyinah Ali Mukhtar, bahwa sosok pendiri Perguruan Islam Mathali’ul Falah, yaitu KH. Abdussalam (ayahanda KH. Abdullah Zen Salam dan KH. Mahfudh Salam) adalah sosok pemimpin para kiai di Kajen yang mampu mengembangkan Islam di seluruh penjuru Kajen. Salah satu tipsnya adalah menjodohkan santrinya yang alim dengan saudagar kaya yang cinta kepada ilmu dan kiai.

Salah satu murid KH. Abdussalam adalah KH. Mukhtar (ayahanda KH. Ma’mun Mukhtar) dan KH. Hazbullah (Pengasuh PP. Kauman Kajen) yang dikader KH. Abdussalam untuk mengembangkan Islam di Kajen dengan merintis pesantren. Artinya, peran yang dilakukan KH. Abdullah Zen Salam tidak lepas dari peran yang dilakukan leluhurnya, mulai dari Syekh Ahmad Mutamakkin, KH. Abdussalam, dan KH. Mahfudh Salam (ayanda KH. MA. Sahal Mahfudh).

Sosok Tegas dan Disiplin

Menurut Bu Nyai Hj. Sholehah Mukhtar, saat penulis wawancarai dalam penyusunan sejarah PIM tahun 2012, KH. Abdullah Zen Salam (Mbah Dullah) adalah sosok kiai yang tegas dan disiplin.  Mbah Dullah sering mengontrol proses kegiatan belajar mengajar (KBM) di PIM. Ketika ada guru yang memakai pakean lengan pendek, langsung disuruh pulang. Beliau ingin guru-guru PIM menjadi sosok yang digugu dan ditiru sikap dan perilakunya dengan standar moral terbaik (bukan standar moral pas-pasan/ ala kadarnya), sehingga anak didik meneladaninya.

Ketika ada anak didik mengikuti ujian nasional di lembaga pendidikan lain atau ada guru yang menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS), maka langsung dikeluarkan Mbah Dullah. Ketegasan dan kedisiplinan Mbah Dullah inilah yang menjadikan beliau sosok yang disegani dan penuh wibawa. Dalam melakukan ini, Mbah Dullah tidak pandang bulu, sehingga semua pihak menerimanya dengan legowo.

Menghindari Thama’

Menurut KH. Masykur Tamyiz, guru al-Qur’an penulis ketika studi di Kajen, KH. Abdullah Zen Salam selalu menghindari thama’ (mengharap bantuan orang lain). Ketika menghadiri acara, beliau sempatkan dulu pergi ke warung. Hal ini untuk menghindari perasaan thama’ yang sering menghinggapi seseorang yang sering diundang dalam acara-acara tertentu di masyarakat.

Menghindari thama’ ini berbanding lurus dengan etos kemandirian Mbah Dullah. Mbah Dullah menurut hikayat banyak orang, adalah sosok pekerja keras untuk menghidupi kebutuhan keluarga. Banyak hikayat yang menunjukkan Mbah Dullah tidak menerima bantuan dari orang lain dan menyuruh orang yang ingin memberikan bantuan kepada beliau agar memberikan bantuan tersebut kepada orang yang membutuhkan.

KH. Mukramin, Pengasuh Pondok Pesantren Al-Akram Banyuurip Pati, masih ingat pesen Mbah Dullah dalam hal kerja, yaitu “nek kerjo ojo molah-maleh” (jika kerja jangan gonta-ganti), tapi istiqamah. Hal ini dibuktikan Kiai Mukramin dengan keberkahan. Ketika ia menanam ketela, pasti ada untung dan ruginya. Namun, jika dihitung dalam siklus 8 tahun, maka banyak untungnya.

Etos kemandirian dan menghindari thama’ ini semestinya diikuti para santri dan masyarakat untuk menggerakkan dinamika ekonomi umat ke arah yang lebih baik.

Sosok Fleksibel

Menurut Mbah Zuyyinah Ali Mukhtar, pada awal pendirian Banat PIM (Mathali’ul Falah Putri), Mbah Dullah mengijinkan anak-anak putri untuk mengikuti kirab bulan Syura dalam rangka memperingati haul Syekh Ahmad Mutamakkin. Namun, ketika Banat PIM berkembang pesat, Mbah Dullah melarangnya.

Awal pendirian Banat PIM membutuhkan sosialisasi atau syiar kepada masyarakat. Namun, ketika Banat sudah berkembang baik, maka sosialisasi dalam bentuk yang demonstratif tidak dibutuhkan.

Hal ini sesuai kaidah “الحاجة تقدر بقدرها” (kebutuhan disesuaikan dengan ukurannya) atau kaidah “الحكم يدور مع العلة وجودا وعدما “ (ada dan tidaknya hukum melihat illat/alasannya).

Aktif Bahtsul Masail

Menurut banyak orang, Mbah Dullah dulu aktif mengikuti kegiatan ilmiah yang khas pesantren dan NU, yaitu Bahtsul Masail. Mbah Dullah aktif bersama ulama-ulama sepuh lainnya untuk mendorong para kiai dan santri mengikuti forum Bahtsul Masail sebagai forum ilmiah dalam memutuskan status hukum persoalan-persoalan yang terjadi di masyarakat.

Bahkan, tidak segan-segan Mbah Dullah berperan sebagai petugas yang memberikan microphone (mik) kepada peserta yang lain. Tentu, orang yang diberi mik Mbah Dullah merasa gerogi dan tidak enak, karena ada ulama yang besar yang tawadlu’ (rendah hati) luar biasa, dan tidak merasa hina atau turun derajat dengan peran memberikan mik kepada orang yang menurut orang banyak, derajatnya jauh di bawahnya. Keteladanan ini luar biasa.

Ojo Gelo

KH. A. Nafi’ Abdillah al-Maghfurlahu (putra Mbah Dullah) dalam suatu kesempatan mengatakan, salah satu ilmu yang disampaikan Mbah Dullah dalam menjalani kehidupan ini adalah “ojo gelo”, jangan kecewa dan menyesal dengan takdir yang diberikan Allah. Jika prinsip “ojo gelo” ini dipahami dan dihayati seseorang, maka dalam menjalani kehidupan ini tidak banyak menggerutu dan menyalahkan orang lain karena ia mampu memahami realitas hidup dengan sebenar-benarnya, mempercayai takdir Allah, dan berusaha menampilkan perilaku terbaik sesuai dengan ajaran Allah dan rasulNya.

Kehidupan penuh dinamika, pasang surut, problem kompleks, dan sejenisnya. Maka, dalam menghadapi ini, prinsip ‘ojo gelo’ akan melapangkan hati dan jiwa seseorang, sehingga bisa menghadapi masa depan dengan mantap, tenang, dan selalu melihat ke depan (visioner) dengan penuh konfidensi dan optimisme.

Sedekah Anak

Menurut KH. A. Nafi’ Abdillah, Mbah Dullah selalu bersedekah dengan niat untuk kesalehan anak-anaknya. Saat ini, kenakalan remaja sulit terbendung. Kasus amoral dan asosial akibat revolusi teknologi informasi, komunikasi, dan transportasi sudah massif dan tidak terhitung jumlahnya. Maka, pertahanan terakhir yang tidak boleh jebol adalah keluarga.

Pendidikan keluarga menjadi benteng terakhir menangkis kenakalan remaja. Jika keluarga tidak mendidik dengan benar, maka anak akan terbawa arus pergaulan bebas yang membahayakan masa depan dunia-akhirat.

Dalam konteks pendidikan keluarga ini, selain ikhtiyar lahir dalam bentuk membimbing anak untuk menjalankan perintah Allah dan RasulNya, juga perlu upaya batin dalam bentuk do’a, dan bersedekah untuk masa depan anak. Tradisi Mbah Dullah bersedekah yang pahalanya untuk anak ini seyogianya diikuti oleh keluarga sekarang dengan harapan: anak-anak tumbuh dalam lindungan Allah sehingga moralitasnya luhur, keilmuannya maju, dan perjuangannya di jalan Allah berjalan dengan baik.

Payung Besar

KH. Mu’adz Thohir menyatakan, Mbah Dullah adalah ulama besar yang digambarkan seperti payung besar yang bisa memimpin para kiai dan umat dari berbagai ragam latar belakang. Semua elemen dibimbing dan diarahkan dengan kejernihan hati dan kesantunan laku. Semua orang merasa nyaman dan damai di bawah bimbingan Mbah Dullah.

Santri, kiai, orang abangan, nasionalis, pejabat, dan seluruh elemen merasa dibimbing dan diberi siraman rohani Mbah Dullah. Mbah Dullah tidak dikotak atau disekat oleh baju kelompok tertentu. Semua orang datang kepada Mbah Dullah untuk menerima wejangan dan siraman rohani yang mendamaikan, menyejukkan, dan mencerahkan jiwa. Sebagai seorang sufi, khasyyatullah (takut hanya kepada Allah) adalah perilakunya. Semua orang diterima dan dibimbing menuju jalan Allah.

Tidak Takut Kehilangan Popularitas

KH. A. Mustafa Bisri dalam satu kesempatan menyatakan, Mbah Dullah di usia yang senja, mengurangi aktivitasnya mengunjungi masyarakat karena disarankan untuk banyak istirahat. Konsekwensinya ada banyak undangan dari masyarakat yang ditolak. Cara menolak undangan ini, kata Gus Mus, yang tidak lazim dan sulit diikuti ulama yang tidak sekaliber Waliyullah. Mbah Dullah menolak undangan dengan model tarif (menentukan sejumlah uang yang harus diserahkan jika ingin mengundang). Cara ini ketika digunakan budawayan Emha Ainun Najib atas saran Gus Mus, mengakibatkan popularitas Emha turun drastis, karena dianggap sosok matrealis.

Namun, sekelas Mbah Dullah, stigma negatif itu tidak muncul. Masyarakat memahami bahwa alasan Mbah Dullah memasang tarif adalah untuk mengurangi kegiatan di usia senja yang membutuhkan banyak waktu untuk istirahat.
Ini membuktikan, Mbah Dullah bukan sosok yang takut kehilangan popularitas. Keikhlasan dan keistiqamahan Mbah Dullah dalam mengikuti perjuangan Nabi membekas dalam jiwa para santri, kiai, dan seluruh lapisan masyarakat dari berbagai macam latar belakang.

Kaderisasi Sukses

Mbah Dullah adalah sosok ulama yang sukses pada zamannya. Namun, kesuksesan Mbah Dullah berlanjut dengan kesuksesan beliau melahirkan santri-santri yang menjadi tokoh masyarakat dan tidak sedikit yang mempunyai pondok pesantren.

Kaderisasi Mbah Dullah berlangsung secara simultan, mulai dari lingkungan keluarga, santri, dan masyarakat sekitar. Dari lingkungan keluarga, putra-putri beliau lahir sebagai tokoh-tokoh umat yang disegani dan penuh keteladanan. Orang melihat Mbah Dullah dan keluarga sebagai sosok yang lakunya bisa diikuti dan diteladani, sehingga membekas dan mempunyai wibawa dan tempat khusus di hati masyarakat.

KH. MA. Sahal Mahfudh, keponakan dan yang dididik Mbah Dullah, tumbuh sebagai ulama berkaliber internasional yang pemikiran dan karyanya dikaji, baik di Indonesia maupun di dunia internasional.

Santri-santri Mbah Dullah tumbuh sebagai tokoh dan pendiri pondok pesantren. Salah satunya adalah KH. Syafiuddin Kajen al-Maghfurlahu yang berhasil mendirikan Pesantren di Kajen, KH Manshur Pucakwangi yg merintis pesantren,  KH. Samhadi Sirahan Cluwak yang berhasil merintis pesantren dan K. Mustain Gunungwungkal berhasil mendirikan pesantren dan aktif di MWCNU Gunungwungkal. Masih banyak santri Mbah Dullah yang tumbuh sebagai tokoh umat yang disegani dan diteladani.

الي روح شيخنا ومرب روحنا العالم العلامة الحاج عبد الله زين سلام والحاجة عائشة عبد الله    الفاتحة ......... امين

*Alumnus Perguruan Islam Mathali’ul Falah (PIM) Kajen tahun 1997

IPMAFA, Rabu, 9 Mei 2018ah Abdullah di Pondok Pesantren Mathali’ul Huda (PMH) Pusat.
Kenangan Penulis dgn KH Abdullah Zen Salam berlangsung, khususnya ketika Penulis belajar di Kajen.  Penulis tidak lama di Kajen, kurang lebih 3 tahun, mulai tahun 1995 sampai 1998 di Pondok Pesantren Raudlatul Ulum yang diasuh oleh KH. Ahmad Fayumi Munji al-Maghfurlah dan Ibu Hj. Yuhanid Fayumi al-Maghfurlaha dan sekarang diteruskan oleh KH. Ismail Fayumi (Gus Mail) dan KH. Abdullah Umar Fayumi (Gus Umar).

Sewaktu penulis belajar di Perguruan Islam Mathaliul Falah (PIM) Kajen, KH. Abdullah Zen Salam sudah tidak mengajar lagi. Hanya ketika testing al-Qur’an dan kitab yang kebetulan bertempat di ndalem kasepuhan KH. Abdullah Zen Salam, penulis bisa menatap wajah sosok ulama kharismatik ini. Kesempatan lain adalah ketika penulis dereake (mengikuti) beliau saat membaca tahlil di makam Syekh Ahmad Mutamakkin setiap malam jum’at bersama para santri dan masyarakat yang menunggu beliau. Juga ketika menunaikan shalat jum’at di masjid Kajen, bisa melihat beliau dan mushafahah (bersalaman) dengan niat tabarrukan (ngambil berkah) sebagaimana santri pada umumnya.

Sang Pemimpin

KH. Abdullah Zen Salam, sebagaimana disampaikan KH. Abdullah Umar Fayumi dalam Talkshow Tasawuf Kajen di Ma’had Aly PP. Maslakul Huda Kajen yang diadakan oleh Panitia Muktamar Keluarga Mathaliul Falah (KMF) tahun 2017, adalah sosok pemimpin yang mampu mengatur irama dakwah yang ada di Kajen dan sekitarnya. Beliau mampu membagi peran para kiai sesuai potensinya masing-masing untuk meramaikan dan memajukan desa Kajen sebagai kota santri yang menjadi sumber ilmu dan hikmah yang dicari oleh para pencari ilmu dari seluruh penjuru Nusantara.

KH. Abdullah Zen Salam menjadi pemimpin para kiai dengan spesifikasi kajian al-Qur’an dan tafsir, KH. MA. Sahal Mahfudh tampil sebagai kiai pakar fiqh, KH. Ahmad Fayumi tampil sebagai kiai pakar falaq (ilmu astronomi), KH. Ma’mun Muzayyin tampil sebagai pakar fiqh yang mampu menjadi komunikator ulung di tengah masyarakat, KH. Faqih Salafiyah tampil sebagai sosok kiai yang sejuk dan damai, KH. Muzammil Thohir-KH. Muadz Thohir tampil sebagai sosok kiai yang pakar fiqh-hadis, kaya wawasan, dan mampu bermasyarakat dengan baik.

Peran ini, kata Gus Umar, melanjutkan peran yang dilakukan Syekh Ahmad Mutamakkin pada masanya yang mampu memimpin para kiai dengan potensi yang beragam dalam sinergi dakwah yang konstruktif. Pada masa Syekh Ahmad Mutamakkin, tampil beberapa kiai terkemuka, seperti Syekh Ronggokesumo yang menggerakkan dunia bisnis dan perdagangan di Ngemplak Kidul dan sekitarnya, dan juga Syekh Mizan yang menggerakkan dunia pertanian di daerah Margotuwu dan sekitarnya.

Ketika penulis melakukan wawancara dengan banyak kiai dalam rangka menyusun Sejarah Perguruan Islam Mathali’ul Falah tahun 2012, penulis mendapat banyak informasi dari KH. Ma’mun Mukhtar, KH. Thoyyib Daiman, dan Bu Hj. Zuyyinah Ali Mukhtar, bahwa sosok pendiri Perguruan Islam Mathali’ul Falah, yaitu KH. Abdussalam (ayahanda KH. Abdullah Zen Salam dan KH. Mahfudh Salam) adalah sosok pemimpin para kiai di Kajen yang mampu mengembangkan Islam di seluruh penjuru Kajen. Salah satu tipsnya adalah menjodohkan santrinya yang alim dengan saudagar kaya yang cinta kepada ilmu dan kiai.

Salah satu murid KH. Abdussalam adalah KH. Mukhtar (ayahanda KH. Ma’mun Mukhtar) dan KH. Hazbullah (Pengasuh PP. Kauman Kajen) yang dikader KH. Abdussalam untuk mengembangkan Islam di Kajen dengan merintis pesantren. Artinya, peran yang dilakukan KH. Abdullah Zen Salam tidak lepas dari peran yang dilakukan leluhurnya, mulai dari Syekh Ahmad Mutamakkin, KH. Abdussalam, dan KH. Mahfudh Salam (ayanda KH. MA. Sahal Mahfudh).

Sosok Tegas dan Disiplin

Menurut Bu Nyai Hj. Sholehah Mukhtar, saat penulis wawancarai dalam penyusunan sejarah PIM tahun 2012, KH. Abdullah Zen Salam (Mbah Dullah) adalah sosok kiai yang tegas dan disiplin.  Mbah Dullah sering mengontrol proses kegiatan belajar mengajar (KBM) di PIM. Ketika ada guru yang memakai pakean lengan pendek, langsung disuruh pulang. Beliau ingin guru-guru PIM menjadi sosok yang digugu dan ditiru sikap dan perilakunya dengan standar moral terbaik (bukan standar moral pas-pasan/ ala kadarnya), sehingga anak didik meneladaninya.

Ketika ada anak didik mengikuti ujian nasional di lembaga pendidikan lain atau ada guru yang menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS), maka langsung dikeluarkan Mbah Dullah. Ketegasan dan kedisiplinan Mbah Dullah inilah yang menjadikan beliau sosok yang disegani dan penuh wibawa. Dalam melakukan ini, Mbah Dullah tidak pandang bulu, sehingga semua pihak menerimanya dengan legowo.

Menghindari Thama’

Menurut KH. Masykur Tamyiz, guru al-Qur’an penulis ketika studi di Kajen, KH. Abdullah Zen Salam selalu menghindari thama’ (mengharap bantuan orang lain). Ketika menghadiri acara, beliau sempatkan dulu pergi ke warung. Hal ini untuk menghindari perasaan thama’ yang sering menghinggapi seseorang yang sering diundang dalam acara-acara tertentu di masyarakat.

Menghindari thama’ ini berbanding lurus dengan etos kemandirian Mbah Dullah. Mbah Dullah menurut hikayat banyak orang, adalah sosok pekerja keras untuk menghidupi kebutuhan keluarga. Banyak hikayat yang menunjukkan Mbah Dullah tidak menerima bantuan dari orang lain dan menyuruh orang yang ingin memberikan bantuan kepada beliau agar memberikan bantuan tersebut kepada orang yang membutuhkan.

KH. Mukramin, Pengasuh Pondok Pesantren Al-Akram Banyuurip Pati, masih ingat pesen Mbah Dullah dalam hal kerja, yaitu “nek kerjo ojo molah-maleh” (jika kerja jangan gonta-ganti), tapi istiqamah. Hal ini dibuktikan Kiai Mukramin dengan keberkahan. Ketika ia menanam ketela, pasti ada untung dan ruginya. Namun, jika dihitung dalam siklus 8 tahun, maka banyak untungnya.

Etos kemandirian dan menghindari thama’ ini semestinya diikuti para santri dan masyarakat untuk menggerakkan dinamika ekonomi umat ke arah yang lebih baik.

Sosok Fleksibel

Menurut Mbah Zuyyinah Ali Mukhtar, pada awal pendirian Banat PIM (Mathali’ul Falah Putri), Mbah Dullah mengijinkan anak-anak putri untuk mengikuti kirab bulan Syura dalam rangka memperingati haul Syekh Ahmad Mutamakkin. Namun, ketika Banat PIM berkembang pesat, Mbah Dullah melarangnya.

Awal pendirian Banat PIM membutuhkan sosialisasi atau syiar kepada masyarakat. Namun, ketika Banat sudah berkembang baik, maka sosialisasi dalam bentuk yang demonstratif tidak dibutuhkan.

Hal ini sesuai kaidah “الحاجة تقدر بقدرها” (kebutuhan disesuaikan dengan ukurannya) atau kaidah “الحكم يدور مع العلة وجودا وعدما “ (ada dan tidaknya hukum melihat illat/alasannya).

Aktif Bahtsul Masail

Menurut banyak orang, Mbah Dullah dulu aktif mengikuti kegiatan ilmiah yang khas pesantren dan NU, yaitu Bahtsul Masail. Mbah Dullah aktif bersama ulama-ulama sepuh lainnya untuk mendorong para kiai dan santri mengikuti forum Bahtsul Masail sebagai forum ilmiah dalam memutuskan status hukum persoalan-persoalan yang terjadi di masyarakat.

Bahkan, tidak segan-segan Mbah Dullah berperan sebagai petugas yang memberikan microphone (mik) kepada peserta yang lain. Tentu, orang yang diberi mik Mbah Dullah merasa gerogi dan tidak enak, karena ada ulama yang besar yang tawadlu’ (rendah hati) luar biasa, dan tidak merasa hina atau turun derajat dengan peran memberikan mik kepada orang yang menurut orang banyak, derajatnya jauh di bawahnya. Keteladanan ini luar biasa.

Ojo Gelo

KH. A. Nafi’ Abdillah al-Maghfurlahu (putra Mbah Dullah) dalam suatu kesempatan mengatakan, salah satu ilmu yang disampaikan Mbah Dullah dalam menjalani kehidupan ini adalah “ojo gelo”, jangan kecewa dan menyesal dengan takdir yang diberikan Allah. Jika prinsip “ojo gelo” ini dipahami dan dihayati seseorang, maka dalam menjalani kehidupan ini tidak banyak menggerutu dan menyalahkan orang lain karena ia mampu memahami realitas hidup dengan sebenar-benarnya, mempercayai takdir Allah, dan berusaha menampilkan perilaku terbaik sesuai dengan ajaran Allah dan rasulNya.

Kehidupan penuh dinamika, pasang surut, problem kompleks, dan sejenisnya. Maka, dalam menghadapi ini, prinsip ‘ojo gelo’ akan melapangkan hati dan jiwa seseorang, sehingga bisa menghadapi masa depan dengan mantap, tenang, dan selalu melihat ke depan (visioner) dengan penuh konfidensi dan optimisme.

Sedekah Anak

Menurut KH. A. Nafi’ Abdillah, Mbah Dullah selalu bersedekah dengan niat untuk kesalehan anak-anaknya. Saat ini, kenakalan remaja sulit terbendung. Kasus amoral dan asosial akibat revolusi teknologi informasi, komunikasi, dan transportasi sudah massif dan tidak terhitung jumlahnya. Maka, pertahanan terakhir yang tidak boleh jebol adalah keluarga.

Pendidikan keluarga menjadi benteng terakhir menangkis kenakalan remaja. Jika keluarga tidak mendidik dengan benar, maka anak akan terbawa arus pergaulan bebas yang membahayakan masa depan dunia-akhirat.

Dalam konteks pendidikan keluarga ini, selain ikhtiyar lahir dalam bentuk membimbing anak untuk menjalankan perintah Allah dan RasulNya, juga perlu upaya batin dalam bentuk do’a, dan bersedekah untuk masa depan anak. Tradisi Mbah Dullah bersedekah yang pahalanya untuk anak ini seyogianya diikuti oleh keluarga sekarang dengan harapan: anak-anak tumbuh dalam lindungan Allah sehingga moralitasnya luhur, keilmuannya maju, dan perjuangannya di jalan Allah berjalan dengan baik.

Payung Besar

KH. Mu’adz Thohir menyatakan, Mbah Dullah adalah ulama besar yang digambarkan seperti payung besar yang bisa memimpin para kiai dan umat dari berbagai ragam latar belakang. Semua elemen dibimbing dan diarahkan dengan kejernihan hati dan kesantunan laku. Semua orang merasa nyaman dan damai di bawah bimbingan Mbah Dullah.

Santri, kiai, orang abangan, nasionalis, pejabat, dan seluruh elemen merasa dibimbing dan diberi siraman rohani Mbah Dullah. Mbah Dullah tidak dikotak atau disekat oleh baju kelompok tertentu. Semua orang datang kepada Mbah Dullah untuk menerima wejangan dan siraman rohani yang mendamaikan, menyejukkan, dan mencerahkan jiwa. Sebagai seorang sufi, khasyyatullah (takut hanya kepada Allah) adalah perilakunya. Semua orang diterima dan dibimbing menuju jalan Allah.

Tidak Takut Kehilangan Popularitas

KH. A. Mustafa Bisri dalam satu kesempatan menyatakan, Mbah Dullah di usia yang senja, mengurangi aktivitasnya mengunjungi masyarakat karena disarankan untuk banyak istirahat. Konsekwensinya ada banyak undangan dari masyarakat yang ditolak. Cara menolak undangan ini, kata Gus Mus, yang tidak lazim dan sulit diikuti ulama yang tidak sekaliber Waliyullah. Mbah Dullah menolak undangan dengan model tarif (menentukan sejumlah uang yang harus diserahkan jika ingin mengundang). Cara ini ketika digunakan budawayan Emha Ainun Najib atas saran Gus Mus, mengakibatkan popularitas Emha turun drastis, karena dianggap sosok matrealis.

Namun, sekelas Mbah Dullah, stigma negatif itu tidak muncul. Masyarakat memahami bahwa alasan Mbah Dullah memasang tarif adalah untuk mengurangi kegiatan di usia senja yang membutuhkan banyak waktu untuk istirahat.
Ini membuktikan, Mbah Dullah bukan sosok yang takut kehilangan popularitas. Keikhlasan dan keistiqamahan Mbah Dullah dalam mengikuti perjuangan Nabi membekas dalam jiwa para santri, kiai, dan seluruh lapisan masyarakat dari berbagai macam latar belakang.

Kaderisasi Sukses

Mbah Dullah adalah sosok ulama yang sukses pada zamannya. Namun, kesuksesan Mbah Dullah berlanjut dengan kesuksesan beliau melahirkan santri-santri yang menjadi tokoh masyarakat dan tidak sedikit yang mempunyai pondok pesantren.

Kaderisasi Mbah Dullah berlangsung secara simultan, mulai dari lingkungan keluarga, santri, dan masyarakat sekitar. Dari lingkungan keluarga, putra-putri beliau lahir sebagai tokoh-tokoh umat yang disegani dan penuh keteladanan. Orang melihat Mbah Dullah dan keluarga sebagai sosok yang lakunya bisa diikuti dan diteladani, sehingga membekas dan mempunyai wibawa dan tempat khusus di hati masyarakat.

KH. MA. Sahal Mahfudh, keponakan dan yang dididik Mbah Dullah, tumbuh sebagai ulama berkaliber internasional yang pemikiran dan karyanya dikaji, baik di Indonesia maupun di dunia internasional.

Santri-santri Mbah Dullah tumbuh sebagai tokoh dan pendiri pondok pesantren. Salah satunya adalah KH. Syafiuddin Kajen al-Maghfurlahu yang berhasil mendirikan Pesantren di Kajen, KH Manshur Pucakwangi yg merintis pesantren,  KH. Samhadi Sirahan Cluwak yang berhasil merintis pesantren dan K. Mustain Gunungwungkal berhasil mendirikan pesantren dan aktif di MWCNU Gunungwungkal. Masih banyak santri Mbah Dullah yang tumbuh sebagai tokoh umat yang disegani dan diteladani.

الي روح شيخنا ومرب روحنا العالم العلامة الحاج عبد الله زين سلام والحاجة عائشة عبد الله    الفاتحة ......... امين

*Penulis Alumnus Perguruan Islam Mathali’ul Falah (PIM) Kajen tahun 1997, dan dosen IPMAFA.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.