MERAWAT TRADISI TENGGANG RASA DI TENGAH PERBEDAAN

Oleh Irham Yuwanamu

Kita sering dihadapkan satu kejadian yang dapat merusak kerukunan dan persatuan seperti pertengkaran yang disebabkan karena beda faham, status sosial, keyakinan, pendapat, dan perbedaan-perbedaan lainnya. Perbedaan memang dapat memicu konflik di dalam kehidupan sehari-hari. Namun tidak selamanya demikian, perbedaan dapat menjadi unsur keindahan sendiri. Warna-warninya pelangi yang semua sepakat untuk mengatakan indah, itu karena diakibatkan perpaduan warna-warna yang beragam. Perbedaan dapat berakibat negatif dan juga positif tergantung dari sisi mana kita melihatnya.

Perbedaan itu artinya tidak sama, dalam konteks kehidupan sosial dapat diidentifikasi mulai dari perbedaan jenis kelamin, bahasa, tradisi dan budaya, ras, agama, pandangan dunia, politik, organisasi, dan seterusnya. Artinya di sini perbedaan itu sebuah kenyataan hidup yang kita rasakan dalam keseharian. Hidup tanpa perbedaan mungkin tidak akan hidup. Mana ada kehidupan yang unsurnya tidak beragam dan berbeda ? Satu kehidupan rumah tangga saja dapat tewujud karena perbedaan, paling tidak adanya perbedaan jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan sehingga keduanya dapat bertemu lalu menikah dan memiliki keturunan.

Keinginan hidup yang harus serba sama, seragam, atau sejenis itu yang sebenarnya utopis, tidak mungkin terjadi. Allah sendiri pernah mengatakan di dalam al-Quran, seandainya dunia ini diciptakan hanya satu bentuk saja, Tuhan sangat mampu, namun Allah  lebih menciptakan semesta ini dengan perbedaan dan keragaman. Lalu bagaimana kita harus menyikapi perbedaan-perbedaan dalam kehidupan sosial ?

Tradisi Toleransi

Ada satu kata kunci yang sering kita dengarkan sehari-hari yang dapat digunakan untuk mengelola perbedaan agar tidak terjadi konflik atau untuk menangani konflik kalau memang terlanjur terjadi yaitu “toleransi”. Kata ini sudah menjadi bahasa Indonesia yang awalnya diserap dari bahasa Inggris tolerance atau toleration  yang secara bahasa berarti kesabaran, daya tahan, dan kelapangan dada. Secara istilah tolerance dapat dimaknai kemampuan atau kesediaan menoleransi segala sesuatu yang berbeda termasuk adanya pendapat atau perilaku yang belum tentu disetujui.   

Istilah toleransi memang berasal dari Barat yang digunakan untuk menghormati dan menghargai segala perbedaan, sehingga yang berbeda-beda tetaplah dapat ketemu secara harmonis. Toleransi juga selalu digaungkan untuk mengikis perilaku sosial yang diskriminatif (pembedaan berdasarkan status sosial). Dengan toleransi perbedaan dan keragaman dapat menjadi sesuatu yang indah, atau kalau terjadi konflik dengannya dapat terselesaikan. Konsep seperti ini dalam kehidupan sosial harus ada dan dimiliki oleh setiap orang. Jika tidak, sebab perbedaan dan keragaman di masyarakat akan terjadi pertengkaran/ konflik sosial, sehingga membuat hidup kurang rukun/ harmonis.

Toleransi itu bukan ada dengan sendirinya di dalam jiwa setiap manusia, tetapi toleransi menjadi satu kata kerja atau kata sifat yang munculnya harus diupayakan. Kesadaran untuk menghormati dan menghargai kepada orang lain dapat menjadi awal toleransi dapat terbangun. Toleransi juga dapat dimulai dari tidak merendahkan pihak lain, dan tidak mengunggulkan diri sendiri. KH. Mustofa Bisri pernah mengatakan bahwa, “merendahkan orang lain hanya mempertegas kerendahan diri sendiri.” Pernyataan ini dapat mempertegas bahwa sikap menghargai, menghormati, bertoleransi dengan yang lain itu sama dengan menghormati diri sediri. Kalau kita tidak ingin diremehkan orang lain maka jangan merendahkan orang lain. Sementara setiap orang pasti tidak ingin direndahkan oleh siapa pun. Artinya di sini melakukan perghormatan, penghargaan, toleransi dengan yang lain itu satu keharusan, hukumnya wajib.  

Di Indonesia konsep toleransi sebenarnya sudah dimiliki dan menjadi tradisi bersama dengan adanya istilah tenggang rasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia memaknainya sebagai sikap dapat atau ikut menghormati dan menghargai perasaan orang lain. Istilah bahasa Jawa yang menunjukkan makna yang sama dengan tenggang rasa adalah teposeliro. Kedua istilah ini sudah mengakar dan barangkali setiap daerah di indonesia memiliki bahasa sendiri dengan arti yang senada. Ini menunjukkan bahwa dalam tradisi bangsa Indonesia toleransi itu sudah terbentuk dan menjadi kebiasaan hidup di masyarakat. Maka tidak heran Indonesia yang beragam dan majemuk ini masyarakatnya dapat hidup berdampingan dan harmonis. Memang terkadang terjadi konflik sosial karena adanya perbedaan-perbedaan di masyarakat, namun itu relatif kecil sekalanya dan mudah teratasi (kasuistik).

Ada satu kearifan atau kebijaksanaan lokal yang dapat digambarkan untuk menunjukkan adanya sikap tenggang rasa atau teposeliro. Misalnya masyarakat Kudus hingga sekarang kalau akan menyembelih hewan kurban kebiasaannya adalah hewan kambing atau kerbau. Menyembelih sapi hampir jarang ditemukan di Kudus meski sudah ada beberapa untuk saat ini. Dulu malah tidak ditemukan sama sekali. Tradisi seperti ini di Kudus bukan terjadi dengan tanpa sebab yang melatarbelakanginya. Di beberapa daerah sekitarnya; Pati, Rembang, Jepara, Demak, Semarang, sapi menjadi hewan kurban itu sudah biasa, tapi di Kudus tidak demikian.

Tradisi ini ada latar belakang dari kehidupan para pendahulu, khususnya Sunan Kudus. Kudus sebelum seperti sekarang sebagai kota santri, dahulu masyarakatnya banyak yang menganut agama Hindu-Buddha. Masyarakat yang beragama Hindu mengaggap sapi adalah hewan yang disucikan, dan disakralkan. Sapi bagi penganut Hindu harus dihormati dan dilindungi sebagai simbol kehidupan yang bersih dan suci. Sunan Kudus sebagai tokoh Islam waktu itu menyarankan warganya untuk tidak menyelembih sapi ketika hari kurban.  

Jelas sekali Sunan Kudus melarang atau menganjurkan kepada orang muslim untuk tidak menyembelih sapi bukan karena ada larangan ajaran Islam namun maksudnya adalah agar tidak menyakiti hati tetangga yang beragama Hindu. Orang Islam dalam menjalankan syariatnya diminta oleh Sunan Kudus tetap memperhatikan hal-hal yang bersifat sosial, seperti menghargai perasaan umat lain. Sunan Kudus menekankan tenggang rasa/ teposeliro untuk menghargai perasaan penganut agama lain.

Ada yang menarik lagi dari Sunan Kudus, bukan hanya soal hewan kurban, tetapi desain menara masjid Kudus yang mirip-mirip dengan tempat ibadah agama lain (Hindu-Buddha). Di sini desain menara masjid Kudus mengakulturasikan arsitektur rumah ibadah agama lain. Ini dapat dimaknai bahwa Sunan Kudus tidak melakukan perlawanan dengan masyarakat yang bergama selain Islam, tetapi Sunan tetap bergaul, dan saling menghormatinya. Tentu bagi warga Hindu-Buddha menjadi bangga ada menara masjid yang desainnya mirip-mirip dengan rumah ibadah mereka. Selain itu ini juga dapat dimaknai bagian dari strategi dakwah yang akomodatif dan ramah budaya. 

Satu contoh lagi tenggang rasa yang sudah menjadi bagian dari hidup masyarakat Indonesia. Di daerah saya dilahirkan, Kota Juwana, masyarakatnya terbilang beragam. Juwana termasuk daerah pesisir yang pada waktu dulu menjadi tempat pertemuan-pertemuan orang dari berbagai daerah bahkan negara melalu pelabuhan Juwana dan Lasem/ Rembang. Masyarakat di sini sudah terbiasa dengan keragaman dan perbedaan. Misalnya dalam satu keluarga atau dalam satu rumah penghuninya terdiri lebih dari dua agama. Satu keluarga ada yang beragama Islam, Kristen, Buddha. Mereka hidup dengan damai tanpa ada persoalan beda keyakinan. Kemudian lagi dalam satu rukun warga ada tiga rumah ibadah yang berdampingan sekaligus. Mushala, Klenteng dan gereja berlokasi yang tidak jauh.  Bagi masyarakat di sana kondisi seperti ini sudah biasa masing-masing dapat berjalan sendiri dan kalau ada moment tertentu mereka saling bekerjasama.

Menjaga Tradisi

Tradisi tenggang rasa yang sudah mengakar ini perlu dirawat agar keharmonisan sosial tetap terjaga. Konsep toleransi yang bermula dari Barat tidak menjadi masalah jika terus dikembangkan, karena memang tidak bertentangan dengan tradisi dan substansi ajaran agama. Konsep toleransi dapat memperkaya makna tenggang rasa/ teposeliro, atau sebaliknya konsep tenggang rasa dapat memperkuat dan memperkaya teori tentang toleransi. Akan tetapi hemat penulis mempopulerkan tradisi yang sudah mengakar itu lebih baik dari pada mengenalkan istilah yang baru tapi masyarakat terkadang masih bertanya-tanya maknanya.

Tenggang rasa dapat dilakukan dalam semua kondisi di tengah-tengah masyarakat, termasuk tenggang rasa dalam perbedaan agama. Dalam konteks ini tenggang rasa dapat dibagi menjadi dua, yaitu tenggang rasa sesama agama dan tenggang rasa beda agama. Meski sesama agama tenggang rasa perlu dilakukan sebab dalam agama itu sendiri juga terdapat perbedaan. Misalnya dalam agama Islam ada beberapa madzhab fikih, aliran akidah, organisasi agama, dan lainnya. Tenggang rasa dalam sesama agama ini akan dapat memperkuat persaudaraan seagama (ukhuwwah islamiyah).

Berikutnya tenggang rasa beda agama. Tenggang rasa ini bukan sinkretisme (mencampuradukkan ajaran agama yang berbeda), tetapi tenggang rasa dalam hubungan kemanusiaan. Tenggang rasa seperti ini misalnya kita boleh berdagang dengan orang lain yang berbeda agama, saling tolong menolong, bekerjasama urusan kemanusiaan dan semacamnya. Masyarakat sering bingung soal datang ke rumah ibadah agama lain apakah ini termasuk sinkretisme yang dilarang atau sekedar menghargai perbedaan ? Jika seandainya datang ke gereja misalnya untuk mengikuti ibadah mereka padahal ia beragama Islam maka itu tidak boleh karena mencampuradukkan ajaran agama. Akan tetapi kalau datang tidak untuk itu misalnya mengikuti perlombaan, ikut kerja bakti, bersih-bersih atau semacamnya maka itu bagian dari tenggang rasa beda agama.

Ada contoh bagus yang dilakukan oleh forum kerukunan umat beragama di Juwana (FKUB). Forum ini terdiri dari berbagai agama yang ada. Mereka sering melakukan kegiatan bersama setiap ada moment tertentu. Misalnya bersih-bersih, kerja bakti, kepanitiaan bersama ketika ada moment hari besar agama. Mereka bergantian kadang dilakukan di masjid/ mushala ketika hari besar Islam, kadang di klenteng, atau di gereja dan lainnya menyesuaikan moment terlebih lagi ketika ada moment bencana. Kebersamaan ini bukan termasuk sinkretisme tetapi bagian dari tengga rasa antar sesama. Dalam ajaran Islam tenggang rasa/ toleransi sering diistilahkan dengan tasamuh. Olehkarena itu tenggang rasa yang sudah mentradisi ini harus terus dipupuk dalam kehidupan umat beragama maupun kehidupan sosial-budaya. Perbedaan adalah sebuah kenyataan tetapi konflik karenanya tidak boleh terjadi, dan tenggang rasa yang membuat perbedaan dan keragaman itu menjadi indah dan membawa kedamaian.


Artikel ini pernah diterbitkan oleh Majalah Tebu Ireng Edisi 80, Mei-Juni 2022. 


Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.