Proses Pembentukan Akhlak

Oleh Yudril Basith, UNUSIA Jakarta


Akhlak merupakan hasil dari sebuah kebiasaan. Kebiasaan bisa terbentuk karena dilatih, dan dalam pelatiahan dibutuhkan kerja keras. Kerja keras mesti dilandasi dengan pemahaman, serta pemahaman akan ada karena pengetahuan. Inilah dasarnya akhlak.

Dengan demikian step pertama untuk menjadikan satu akhlak tertentu, seseorang terlebih dahulu harus mengetahui atau memahami suatu nilai itu. Pengetahuan ada yang disadari, dan ada yang tidak disadari. Upaya sadar ini seringkali dianggap proses belajar, seperti membaca, menulis, berlatih, sedangkan yang tidak disadari didapatkan  karena melihat role model (suri tauladan). Pada dasarnya semua ini adalah proses menjadi akhlak.

Untuk membentuk akhlak berarti kita harus memberikan pengetahuan kepada anak baik disadari ataupun yang tidak disadari. Keduanya sebenarnya harus sinkron untuk dilatihkan kepada anak, misal kita mengajarkan mereka makna kejujuran, kita juga harus menerapkan kejujuran itu pada diri kita, jangan sampai kita termasuk dalam katagori orang yang celaka, mengajarkan namun kita tidak melakukan. 

Upaya kerja keras dalam melatih untuk menerapkan pengetahuan, orang tua terlebih dahulu harus menerapkannya secara konsisten, namun konsistensi ini tidak bersifat kaku. Contoh saja ketika kita melarang anak tidak boleh membeli permen hari ini, karena permen membuat gigi sakit, maka untuk hari ini tidak boleh memberikan ia permen. 

Namun tidak seterusnya tidak boleh memberikan permen, kita bisa memberikannya permen di hari berikutnya dengan catatan,  kalau membeli permen maka harus sikat gigi. Karena yang membuat sakit giginya bukan permennya, tetapi sisa permen yang ada di mulut yang tidak dibersihkan yang menyebabkan cepat rusaknya gigi. 

Contoh lain kita mengajak anak shalat, kita mengajarkan pengetahuan kepada mereka bahwa kalau shalat itu harus menutup aurat, namun kadangkala anak tidak mau menutup aurat, dan ia tetep kekeh mau mengikuti kita shalat tanpa nutup aurat.

Nah di sini kita jangan karena alasan konsistensi maka anak kita tidak diajak shalat karena tidak menutup aurat. Di sinilah konsistensi ini tidak boleh bersifat kaku, karena penanaman pengetahuan yang pertama kepada anak adalah mengerjakan shalatnya bukan auratnya. 

Jadi walaupun ia tidak mau menggunakan pakaian yang menutup aurat, maka kita tetap ia ajak, dan kita biarkan ia untuk tidak memakai pakaian penutup aurat. Namun pada suatu kondisi ketika anak siap untuk diajak ngobrol, kita berikan penjelasan kepada mereka bahwa kalau shalat itu harus tetap menutup aurat.

Pembiasan dan pemahaman merupakan hal yang pokok dalam pembentukan akhlak.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.