Siapa Kategori Santri ?

Oleh Yoyo Hambali, Dosen Syariah Unisma Bekasi


Sebelum Clifford Geertz menulis buku Religion of Java, yang membagi masyarakat Jawa ke dalam tiga tipologi: santri, abangan, dan priyayi, yang menjadi kontroversi itu, mungkin istilah santri merupakan istilah yang biasa saja.

Saya sendiri, sejak kecil sudah tergolong santri, paling tidak karena saya pernah mengaji kepada kyai sejak kecil. Bahkan entah siapa yang mula-mula menjuluki, kampung saya disebut sebagai kampung santri. Itu mungkin karena memang di kampung saya banyak santri setidaknya santri kalong (santri yang mengaji hanya malam hari) atau santri peski (pesantren kilat) yang biasanya lebih banyak pada bulan puasa. 

Bila menggunakan kategori santri yang digunakan antropolog Amerika, Geertz, di atas, bahwa santri adalah kelompok Muslim yang taat menjalankan perintah Allah sesuai hukum-hukum-Nya dan Sunnah Nabi-nya secara murni tanpa ada sinkretisme, berkebalikan dengan kategori abangan dan juga priyayi, yang Islamnya hanya identitas saja dan masih setia dengan praktik agama sebelumnya, animisme, Hinduisme, dan Budhisme, maka sepertinya saya pribadi tak mengklaim termasuk kategori santri sebagaimana kategori Geertz di atas. Saya sendiri entah kawan-kawan saya yang lain dan orang-orang yang dinamakan santri disebut santri terutama sekali karena memang bisa mengaji Al-Quran, dan biasa memakai peci dan kain sarung. 

Sampai SMA, saya sendiri hampir setiap saat ke mana-mana, bukan hanya di madrasah atau di masjid, bahkan ke pasar saja tak lepas dari memakai peci dan sarung. Tak jarang saya naik angkot berpeci dan bersarung ketika pulang kampung yang jaraknya sekitar 25 km libur sekolah akhir pekan. Dan kembali lagi juga naik angkot dengan berpeci dan bersarung juga.Nampaknya, peci dan sarung itulah identitas utama santri. 

Belakangan setelah saya kuliah dan membaca sebuah buku hebat karya ahli tentang Nahdliyyin, Martin Van Bruinessen, berjudul Kitab Kuning, saya baru tahu kalau tradisi kitab kuning merupakan tradisi besar pesantren.  

Karena itu yang namanya pesantren ya harus mengajarkan berbagai disiplin ilmu: bahasa Arab (Sharaf, nahwu, dsb.), Ilmu kalam, ushul fiqh dan fiqh, hadits, dan sebagainya mesti menggunakan kitab kuning. Disebut kitab kuning karena kertasnya berwarna kuning. Disebut juga kitab gundul karena huruf-hurufnya gundul alias tidak ada "barisnya" atau tidak ada tanda bacanya, baik dhomah, fathah, kasrah, maupun tanda huruf matinya. 

Supaya santri bisa membaca "kitab gundul" ini mestilah menguasai ilmu alat terutama sekali ilmu tata kata (Sharaf) dan ilmu tata bahasa ((nahwu). Minimal dengan dua ilmu alat ini santri bisa membaca secara benar, yang biasanya disebut "ngi'rab". Dengan Sharaf santri bisa tahu mana kata kerja (fi'il), mana kata benda (isim), mana pelaku (fa'il), dst. Kitab yang menjadi rujukan tingkat dasar untuk Sharaf seingat saya berupa kitab nadlom (bait-bait syair) yang mesti hafal di luar kepala dan sering dibacakan beramai-ramai dengan setengah menyanyi: fa'ala, yaf'ulu, fa'lan wa maf'alan fahuwa fa'ilun, dst. 

Seingat saya kitab yang digunakan untuk Sharaf ini, kalau tidak salah (mohon dikoreksi) itu kitab Imriti. Ilmu alat itu mesti dikuasai supaya bisa membaca mana huruf yang mesti dibaca "a", mana yang dibaca "u", mana yang dibaca "i", mana yang dibaca mati, mana mubtada, mana khabar, dst. Sedangkan tentang tata bahasa (nahwu) kitab yang digunakan seingat saya adalah kitab Al-Ajrumiyyah atau biasa juga disebut kitab Jurumiyah. Untuk ilmu alat ini pada tingkat yang lebih tinggi lagi mesti belajar kitab Alfiyah, yang merupakan syair-syair yang berjumlah seribu bait, yang disusun seorang ulama ahli bahasa, yaitu Ibn Malik. Ada pula Syarah atau penjelasan kitab ini yang disusun oleh Ibn 'Aqil. 

Banyak santri yang hafal seribu bait Ibn Malik ini. Saya sendiri pernah membaca saja, dan hanya sempat menghafal satu dua syair saja dari kitab Alfiyah, itupun kini sudah lupa.

Rata-rata santri untuk belajar ilmu alat saja perlu waktu bertahun-tahun, dan biasanya yang dipelajari juga hanya matan (bagian pinggir kitab), syarah (penjelasan matan bagian tengah)-nya dilewati saja karena perlu waktu yang tak sedikit pula buat mempelajarinya. Demikian pula untuk disiplin ilmu lainnya seperti fikih, dsb., yang biasanya dipelajari secara bergantian dengan bidang ilmu lain seperti bahasa dan aqidah/kalam. 

Untuk fikih dimulai dari tingkat dasar sebelum ke tingkat menengah dan tinggi, dipelajari secara hierarki atau berjenjang. Untuk kitab fiqih biasanya mulai dari kitab Safinatun Naja, lalu Fathul Mu'in, Fathul Qarib, lebih tinggi lagi Kifayatul Akhyar, I'anatuth Thalibin, Bidayatul Mujtahid. Muhazzab, Al-Mughni, dst., mulai kitab satu jilid tipis sampai yang berjilid-jilid. Untuk bidang akidah saya ingat mulai dari kitab tipis Tijanudl Dlaruri. Kebanyakan metode yang digunakan sistem sorogan atau bandongan, kyai membaca dan mengartikan dan santri menandai kitab. Pertama sekali saya belajar kitab gundul itu, waktu usia SD, guru saya mengajari dengan bahasa Jawa, utawi-utawi, dst. yang waktu itu saya tidak mengerti sama sekali artinya, dan tak mengerti pula mengapa guru saya dan murid-muridnya yang orang Sunda, tapi belajar kitab memakai bahasa Jawa. 

Metode mempelajari kitab-kitab dengan cara demikian, sorogan atau bandongan itu menurut saya sekarang kurang efektif, sebab untuk menamatkan satu kitab tipis saja perlu waktu yang lama sekali, bisa berbulan-bulan, bahkan tahun. Memang ada tradisi di pesantren yang namanya "pasaran" biasanya bulan Ramadhan, sebulan bisa tamat satu kitab atau lebih dengan bimbingan bacaan kyai siang malam. Maka dari itu, umumnya santri biasa mondok bertahun-tahun bahkan berpuluh-puluh tahun. Salah seorang guru saya, mondok di lebih dari tiga pesantren selama lebih dari 20 tahun. 

Barangkali dengan penguasaan ilmu alat (bahasa Arab) dalam teori dan praktek dan menguasai berbagai kamus bahasa Arab merupakan kunci untuk bisa membaca dan mengerti kitab-kitab gundul itu secara lebih efektif dan efisien. Sebenarnya, untuk memudahkan memahami beberapa kitab secara instan, waktu itu, sudah ada juga beberapa terjemahan kitab terjemahan dengan bahasa Melayu dan tulisan Arab. Tapi yang lebih afdol ya menguasai ilmu alat itu. 

Saya sendiri cukup menyesal karena penguasaan ilmu alat itu sangat minim. Itu karena kurang fokusnya belajar menguasai ilmu alat itu. Saya kira tradisi besar pesantren berupa kitab kuning itu mestilah dipelihara dan diwariskan turun-temurun di tengah merajalelanya "kitab-kitab putih" atau terjemahan. Dan penguasaan terhadap khasanah kitab kuning itu bukan saja merupakan identitas santri tetapi merupakan ciri kompetensi yang harus dimiliki oleh kaum santri.

Kalau ciri itu bisa membaca dan memahami kitab kuning (kitab apapun) dengan prasyarat ilmu alat yang mesti dikuasainya, maka  dengan sesadar-sadarnya, tidak layaklah saya dikategorikan sebagai santri, walaupun sampai kini saya suka memakai peci dan kain sarung. Dan di hari santri ini saya berharap kepada para santri, semoga santri bukan sekedar identitas atau kategori sosial keagamaan semata, tetapi santri yang memang layak sebagai santri karena kompetensi berbagai disiplin ilmu-ilmu keislaman, seperti layaknya kata santri itu disematkan kepada Anda, dan mungkin saya belum atau tidak. 

"SELAMAT HARI SANTRI"

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.