Covid 19 dan Pendidikan Kita: Masalah serta Kritik Untuk Kementerian

Oleh Irham Yuwanamu, Dosen Pendidikan Unisma Bekasi

Wabah covid 19 telah menjadi pandemi di seluruh dunia. Dampaknya sungguh luar biasa, tidak hanya pada persoalan kesehatan saja, tapi merambah secara kompleks. 

Semua aspek kehidupan ikut terdampak, mulai dari perekonomian, sosial-budaya, agama, pengangguran meningkat, dan yang paling nampak lagi adalah pendidikan. Sebenarnya masih banyak lainnya kalau mau disebutkan. Tulisan ini akan mencoba menyoroti dampak yang terjadi pada pendidikan kita.

Sejak covid 19 dinyatakan wabah nasional, segala aktivitas pendidikan diberhentikan.  Keputusan menteri pendidikan menyatakan agar dilaksanakan pembelajaran jarak jauh di rumah. Jargon #belajardirumahaja menjadi kampanye bersama. Ini untuk semua level pendidikan, mulai yang tingkat dasar hingga perguruan tinggi.

Dari pemberlakuan belajar di rumah saja hingga kini tidak terasa hampir dua bulanan lebih. Ada yang memulai di pertengahan Maret, dan ada yang April. Di berbagai daerah di Indonesia berbeda-beda mulai pemberlakuannya. Daerah DKI Jakarta sepertinya yang awal memulai. Dan rencana akan kembali normal pada pertengahan bulan Juni atau awal ajaran baru. Ini tentu menunggu kondisi yang ada. Bisa jadi mundur kalau situasi tidak memungkinkan.  

Semua lembaga pendidikan di tanah air taat mengikutinya, baik yang swasta maupun yang negeri. Semua menyelenggarakan pendidikan dengan sistem jarak jauh bahkan informasi yang saya dapatkan dari daerah ada lembaga pendidikan swasta yang meliburkan aktifitasnya. 

Lembaga yang meliburkan ini alasannya karena tidak memungkinkan diadakan pembelajaran jarak jauh. Tidak semua siswa memiliki fasilitas, misalnya seperti smartphone atau internet. Yang memungkinkan adalah belajar di rumah bersama orang tua. Makanya tidak heran kalau ada guru SD mendatangi rumah-rumah muridnya, untuk memantau kondisi belajar muridnya seperti yang diberitakan media. Namun guru yang seperti ini langka.

Kondisi belajar jarak jauh

Perguruan tinggi dan lembaga pendidikan dasar menengah di Indonesia sangatlah beragam. Terutama lembaga swasta. Ada yang sedari awal lembaga tersebut menggunakan sistem e-learning dan ada yang menggunakan sistem konvensional, belajar tatap muka di kelas. Dan ini menjadi arus utama pendidikan di Indonesia.

Lembaga pendidikan yang sedari awal menerapkan sistem e-learning maka dalam merespons belajar di rumah saja tidak ada persoalan. Semua fasilitas sudah disediakan oleh pihak lembaga. Termasuk yang paling mendasar adalah aplikasi belajar daring (dalam jaringan).

Ini berbeda dengan lembaga pendidikan yang dengan sistem konvensional. Rata-rata lembaga tidak menyediakan aplikasi belajar daring. Semua diserahkan pada dosen atau guru. Saya sendiri mengajar dengan memanfaatkan media atau teknologi yang umum digunakan seperti google classroom, zoom kadang skype, grup WA, dan email. Rata-rata teman saya juga demikian.  Kampus belum mendukung teknologinya.

Untungnya saya mengajar di lingkungan perkotaan. Mahasiswa semua sudah menggunakan smartphone, dan hampir semua memiliki laptop. Sinyal kuat, dan sepertinya soal kuota Internet tidak masalah, walaupun ada sebagian kecil yang menjadi kendala karena soal perekonomian keluarga.

Kondisi ini sangat berbalik 100 derajat dengan yang di daerah untuk lembaga pendidikan dasar dan menengah. Saya memiliki dua keponakan. Yang satu sekolah di madrasah setingkat SMP dan satunya lagi SD.  Mereka tetap belajar dari rumah yang dipantau guru-guru mereka. Kebanyakan belajarnya dalam bentuk pemberian tugas yang harus dikerjakan dan dikirimkan ke guru yang memberikannya. 

Jadi mereka sebenarnya bukan belajar via daring tapi menerima tugas dari guru yang harus dikerjakan dengan tenggat waktu yang ditentukan lalu dikumpulkan. Nah pemberian tugas dan pengumpulannya ini memanfaatkan media internet (smartphone). 

Persoalannya mereka adalah kuota internet. Baginya kuota internet seperti barang yang langka yang harus diirit-irit. Seperti makanan yang dimakan dikit demi sedikit supaya awet tidak cepat habis. Pada saat kuota internet habis muncul cek-cok kecil antara si anak dan orang tua. 

Si anak butuh cepat kuota internet untuk mencari bahan dan segera mengumpulkan tugas, si orang tua berhenti bekerja dan kondisi keuangan terbatas. Akhirnya tetaplah dibelikan kuota tapi sedikit, 1 giga, habis beli lagi satu giga. Begitu seterusnya. Si anak maunya dibelikan kuota langsung 30 giga biar awet dan tidak cepat habis tapi apa kata si orang tua, mending buat beli bahan makan. Karena kuota segitu, besar nilainya, dan cukup beli beras 10 liter.

Ini belum lagi persoalan rebutan smartphone, antara kakak dan adiknya. Hampir tiap hari mereka tengkar rebutan smartphone dan irit-iritan kuota. Pernah si adik yang masih SD nangis terus karena diancam gurunya kalau tidak mengumpulkan tugas akan diberikan nilai jelek. Sementara dia tak paham instruksi gurunya semula di samping karena keterbatasan alat yang ada. Sehingga tugas yang dikumpulkan salah.

Dengan kondisi seperti ini maka wajar saja kalau ada sekolah yang meliburkan total sekolahnya dan hanya menghimbau agar murid belajar mandiri di rumah. Memang persoalan fasilitas itu kendala bersama yang dihadapi oleh para murid.  Belum lagi skill belajar daring (e-learning) para guru yang belum seragam kemampuannya.

Respons peserta didik

Banyak laporan dari berbagai media, medsos, dan kesan secara langsung dari para mahasiswa dan murid bahwa mereka sudah merasakan kejenuhan-kebosanan. Mereka menginginkan segera kembali seperti biasa dapat belajar di kelas yang langsung bertatap muka dengan dosen/guru serta dapat berinteraksi dengan teman-temannya.

Sebatas pengamatan saya saat ini, kesan mereka belajar jarak jauh ada yang positif dan ada yang negatif. Positifnya kesan mereka adalah belajar memiliki kebebasan. Mereka senang. Mahasiswa tidak perlu mandi dulu, bisa belajar via daring bersama dosen. Bahkan waktu pun bisa dinegosiasikan. Tidak terpaku pada jadwal yang ada. 

Namun di sisi lain mereka juga ada yang abai, yang terpenting akun on lalu bisa ditinggalkan. Bahkan sama sekali ada yang tak pernah hadir online. Ada mahasiswa yang mengatakan tidak paham-paham belajar dengan sistem yang ada itu. Kemudian  terlalu banyak tugas. 

Banyak serba dan serbi yang terjadi dalam pemberlakuan belajar jarak jauh ini. Kesan di atas hanya sebagian kecil saja yang mewakili dari persoalan yang ada yang lebih banyak. Pada intinya mereka -anak didik maupun pendidiknya- menginginkan segera kembali semula. Pembelajaran seperti biasanya, tatap muka di kelas.

Kritik Untuk Kementerian Pendidikan

Fakta pendidikan kita di atas menunjukkan pendidikan nasional kita tidak siap menjalankan pendidikan di saat ada pandemi seperti saat ini. Pendidikan jarak jauh atau pendidikan dengan sistem daring karena pandemi ini tidak tersistem dengan rapi serta sistematis. Lembaga pendidikan umumnya menyelenggarakan pendidikan jarak jauh dengan sistem liar. Maksudnya pembelajaran daring semau pendidiknya yang tidak terencana secara terlembaga. Aplikasi belajar daring tidak tersedia. Semua memanfaatkan teknologi pihak lain.

Tentu hal itu banyak kelemahan yang dirasakan termasuk kontrol terhadap peserta didik yang kurang. Lembaga pendidikan kita saat ini tidak siap teknologinya untuk belajar daring (e-learning) sepenuhnya. Yang sekarang terjadi masih semi-semi e-learning.

Yang sangat disayangkan adalah tidak ada solusi atau alternatif yang sistematis dari pihak kementerian pendidikan. Kementerian hanya memberikan kebijakan besar terkait belajar di rumah saja. Walaupun ada ide segar yang sudah diberikan dengan pembelajaran melalu TVRI akan tetapi ini tidak cukup. Sebab waktunya terbatas begitu juga tema-temanya.

Semestinya, ini dalam bayangan saya, Kemendikbud bekerja cepat secara rapi dan sistematis menyediakan aplikasi pembelajaran daring (e-learning) terutama untuk level pendidikan dasar hingga menengah. Kementerian tidak semestinya membiarkan begitu saja belajar jarak jauh atau hanya menyarankan untuk memanfaatkan pihak swasta semisal ruang guru. Ini tidak pantas. Aplikasi semisal ruang guru adalah komersial, maka tidak elok kementerian mempromosikannya. 

Saya kira kementerian menyediakan aplikasi belajar online yang sistematis dan terukur yang bisa diakses secara nasional sangat mampu. Bekerja cepat dan dengan kualitas/ standar yang baik sangat memungkinkan dicapai. Apalagi pak menteri adalah orang yang tidak diragukan lagi di bidang IT. Kalau saat ini masih belum ada rencana ke sana itu keterlaluan. Walaupun pandemi sudah selesai maka sistem belajar daring dapat dijalankan untuk menopang pendidikan di dalam kelas. Saya kira ini dapat menjadi strategi untuk meningkatkan kualitas pendidikan kita.

Berikutnya terkait dengan fasilitas internet. Sudah saatnya pemerintah melalui kementerian pendidikan menyediakan fasilitas internet di semua lembaga pendidikan atau semua siswa yang terdaftar secara nasional. Ini wujud kepedulian pemerintah kepada masyarakatnya.  Saya rasa mampulah pemerintah menyediakan teknologinya agar semua siswa di tanah air memiliki akses internet. Saya tidak tahu seperti apa teknologinya, saya bukan ahli di sana tapi saya kira itu bisa dilakukan. 

Dua alternatif dasar di atas sangatlah dibutuhkan untuk masa pandemi dan pasca pandemi. Terkait dengan pembiayaan, saya kira program pemerintah untuk penanganan pandemi dan dampaknya ini bisa digunakan. Anggaran yang disiapkan pemerintah pusat cukup besar, yang saya ikuti dari pemberitaan sekitar Rp. 405,1 T dan khusus untuk pendidikan 20 T. Kalau saja dibandingkan misalnya, dengan program pra kerja yang melibatkan pihak swasta dan anggarannya sangat gede, maka hemat penulis, program untuk memenuhi pendidikan jarah jauh lebih utama. Ini lebih realistis, terukur dan jelas manfaatnya.

Semoga saja pandemi cepat hilang program pendidikan nasional kita membaik sesuai harapan dan tepat. Seperti secercah harapan dengan hadirnya menteri yang ahli di bidang IT.

Ket.: gambar diambil dari situs Kemendikbud.





2 komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.