Apa yang Diharapkan dari Pendidikan Kita?

Oleh Mamang M Haerudin, Pesantren Bersama Al-Insaaniyyah

Pendidikan yang pada nyatanya masih sangat identik dengan pengajaran. Tolok ukur keberhasilan pelajar dan mahasiswa masih sekadar nilai (angka) yang besar. Bobot ujian tengah dan akhir semester masih mendominasi. Padahal pendidikan itu merupakan usaha sadar yang diupayakan dengan manajemen yang baik guna menumbuhkan kesadaran intelektual, emosional dan spiritual. 

Kalau pendidikan belum atau tidak mampu menumbuhkan kesadaran literasi saja, maka kita tidak perlu jauh-jauh menganalisa hal-hal lain, karena di saat itu pula pendidikan kita telah gagal. Sebab pada akhirnya pendidikan yang ada hanyalah aktivitas menciptakan robot-robot yang telah didesain sedemikian kaku, tidak membebaskan dan tidak berdasarkan potensi para peserta didik. 

Para pelajar dan mahasiswa tidak dipacu potensi dan rasa ingin tahunya untuk sadar dan butuh akan aktivitas membaca, menulis dan kajian ilmiah. Aktivitas membaca dan menulis yang ada hanyalah karena keterpaksaan. Sekadar membaca buku bacaan karena didesak untuk menjawab soal-soal pertanyaan. 

Aktivitas menulis pun demikian, hanya mencatat pelajaran dan mata kuliah dan mengisi jawaban atas soal yang dipertanyakan. Membaca, menulis dan kajian ilmiah yang dimaksud adalah kesadaran untuk melek literasi. Membaca apapun literatur yang memuat ilmu pengetahuan, menulis berbasiskan riset dan realitas, berikut mendiskusikan temuan-temuan bacaan dan fakta di lapangan untuk dicarikan solusinya. 

Oleh karena itu, pendidikan harus dimaknai sebagai upaya kita untuk belajar dalam kehidupan. Pendidikan yang mendorong peserta didik untuk peka sosial dan berbaur dengan alam. Bukan hanya sekadar tuntutan kurikulum yang baku dan kaku. Maka pendidikan adalah pengabdian.

Bagaimana para pelajar dan mahasiswa dididik untuk bermanfaat bagi lingkungan dan masyarakat. Para pelajar dan mahasiswa yang akan mampu memecahkan masalah-masalah sosial yang selama ini membelit masyarakat. Para pelajar dan mahasiswa yang punya simpati dan empati yang kuat terhadap sesama. Jadi pendidikan yang sejati itu akhirnya pendidikan yang lebih banyak di luar, bukan hanya aktivitas menjenuhkan di dalam ruangan kelas. 

Ini kita baru bicara soal kekeliruan paradigma pendidikan kita selama ini. Masih terlalu banyak disorientasi dan kezaliman dalam pendidikan kita. Karenanya jangan heran apabila pendidikan kita tak berangsur membaik dan apalagi berkualitas. Pendidikan kita memerlukan reorientasi paradigma, yakni pendidikan yang menumbuhkan kesadaran literasi, berperilaku berdasarkan moral yang mulia dan menjunjung tinggi spiritualitas. Tanpa paradigma itu, pendidikan kita akan terus mengalami degradasi di segala lini. 

Persoalan yang kita hadapi

Perhatikan baik-baik ya. Di banyak sekolah, untuk menjadi (calon) Kepala Sekolah, seorang kandidat harus menyetor uang sekian puluh atau sekian ratus juta rupiah kepada pihak terkait. Kalau kenyataan jahat seperti itu dibiarkan, sekali lagi saya ingin bertanya, apa yang diharapkan dari pendidikan kita? 

Maka saya berani menyatakan, sekolah manapun, yang dipimpin oleh Kepala Sekolah hasil dari sogokan, maka jangan harap sekolah tersebut akan maju. Sekolah seperti itu hanya akan terjebak rutinitas dan pasti akan banyak masalah. Terlebih kasus-kasus korupsi. 

Begitupun dengan kampus. Jika ada kampus--kampus di manapun--yang Rektor atau ketuanya dipilih hasil dari pemilihan yang curang dan atau karena uang sogokan, bisa dipastikan kampusnya tidak akan berkah dan akan penuh dengan malapetaka. Kasus-kasus turunan: jual, beli dan sogok jabatan akan besar kemungkinan terjadi tanpa malu-malu. Gaya hidup hedonis. Konflik antar dosen tak akan bisa dielakkan. 

Parahnya lagi, dari sekian banyak dosen dan orang pandai di kampus tersebut, hampir dapat dipastikan semuanya akan terjerumus perilaku jahat tersebut. Ada yang mengambil langkah 'mending', pulang dan pergi dari rumah ke kampus hanya untuk mengajar, sambil tutup rapat kuping dan mata atas banyaknya persoalan yang ada di kampus. 

Ayo kita merenung. Mau sampai kapan pendidikan kita rusak-rusakan seperti demikian? Mau berapa kali ganti Kepala Sekolah dan Rektor lagi untuk keluar dari jeratan setan korupsi di dunia pendidikan? Mau kapan pendidikan kita akan maju, kalau lembaga pendidikan kita justru menjadi lembaga yang sama sekali tidak mendidik? Apa kita--khususnya yang berkecimpung di dunia pendidikan--tidak malu melihat kenyataan rusak seperti itu? 

Fakta menyakitkan di atas baru hanya dari aspek pimpinan sekolah atau kampus. Fakta-fakta lain yang menyakitkan pasti terlalu banyak. Maka melalui catatan harian ini saya ingin mengajak dan mengetuk nurani khalayak sekalian, untuk tidak diam ketika melihat kezaliman. Bergerak dan lawan! Kita tidak perlu takut. 

Bayangkan saja, oknum-oknum yang sedemikian jahat saja berani, masa kita yang hendak belajar baik malah ketakutan? Yang sedang belajar jujur harus lebih berani. Saya ingin menutup catatan harian ini dengan sebuah nasihat berikut: "Marilah kita untuk tidak menunggu contoh, baru bergerak mengikuti, tapi mari kita bergerak terlebih dahulu, dan jadilah contoh yang baik untuk orang-orang di sekelilingmu."




Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.