Digital Learning, Agar Berkah Tak Menjadi Ancaman


Oleh Miftakhur Risal, penulis lepas dan pengajar Al-Azhar Bantul-Yogyakarta.

Tidak bisa dipungkiri bahwa dunia pendidikan turut merasakan penetrasi dari perkembangan teknologi. Teknologi  memengaruhi paradigma pendidikan dunia, termasuk Indonesia. Dalam bentuk, yang biasa disebut dengan, e-learning atau digital learning. Pada dasarnya, digital learning membantu seluruh masyarakat yang terlibat dalam dunia pendidikan.

Sebagai gambaran, bagi guru misalnya, mendapat kemudahan dengan melimpahnya soal-soal. Ditambah silabus dan RPP yang sudah tersusun dan bisa dimodifikasi sesuai kebutuhan. Kemudahan dalam memberi tugas sekaligus terkoreksi dengan otomatis. Guru tidak lagi repot dengan urusan pembuatan soal, koreksi, atau penyusunan perangkat administrasi. Semua bisa diselesaikan oleh hanya satu gawai.

Murid juga demikian. Mereka bisa peroleh sebagian besar materi pelajaran dari gawai masing-masing. Mengerjakan tugas juga tinggal pencet. Nilai saat itu juga keluar. Secara otomaatis  langsung terkirim hasilnya ke akun guru. Orang tua tinggal memantau secara periodek capaian-capaian anak mereka. Tidak perlu menghubungi guru, tidak perlu melihat progress report dalam wujud kertas.

Situasi serba otomatis ini sungguh meringankan beban semua pihak. Dilihat dari sisi ini, penetrasi teknologi dalam dunia pendidikan adalah berkah. Namun, ada resiko yang mungkin saja tidak disadari dari akan menjamurnya e-learning di atas.

Beberapa bulan belakangan, terjadi demo oleh kelompok masyarakat yang tersisih melawan teknologi. Ojek pangkalan (opang) dan sopir angkot kehilangan pelanggan. Taksi konvensional mencatatkan laba yang terus merosot. Apa sebabnya? Transportasi online. Mereka yang bertahan adalah yang bersedia kompromi.  Tukang ojek bisa survive manakala mau bergabung dengan ojek online. Begitu pula taksi konvensional.

Dalam skala lebih luas, sedang dikembangkan mobil otonom. Jika “benda” ini dalam 10-20 tahun mendatang juga menjamur, maka tak peduli Anda sopir angkot atau taksi daring, profesi sopir secara umum sajaakan terancam tinggal kenangan.

Begitu pula dengan penjaga gardu tol. Seiring dengan aturan baru transaksi non-tunai, jumlah tenaga manusia di gardu tol akan turun drastis. Kabarnya industri perbankan juga alami hal serupa seiring dengan semakin merebaknya e-banking. Apa kabar pula gerai-gerai ritel di mall-mall Indonesia yang digeser oleh online shop? Anda bisa tambahkan sendiri daftar profesi lain yang terancam gulung tikar.

Maka bolehlah jika tenaga pendidik melihat dari kerangka yang demikian. Penetrasi e-learning bisa berubah menjadi ancaman bila dibiarkan begitu saja. Beberapa waktu lalu, saya ikuti seminar seputar e-learning di Jogjakarta. Konten yang ditawarkan oleh salah satu provider e-learning memang dahsyat. Menggarap apa yang semestinya digarap guru. Gambarannya sebagaimana saya tulis di atas.

Guru, yang menurut UU no. 14 tahun 2005, “adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah” menjelma dalam bentuk aplikasi. Hanya kata “membimbing” saja yang barangkali tidak include dalam aplikasi tersebut.

Bayangkan saja jika murid dapat mengakses materi, tugas, soal, hingga ujian semester melalui gawai. Apa relevansi guru saat itu terwujud? Fasilitator saja? Bukankah yang demikian bisa dilakukan orang tua di rumah masing-masing? Justru yang hampir bisa dipastikan adalah jumlah tenaga manusia yang dibutuhkan bakal makin berkurang.

Maka tidak menutup kemungkinan, demo yang sekarang ini dilakukan oleh sopir angkot, dalam beberapa tahun mendatang akan dilakukan oleh guru. Tagline-nya: Tolak e-learning! Atau “kawasan bebas digital learning”. Tidak lucu bukan?

Untuk mengantisipasi hal tersebut, negara perlu ambil alih “penetrasi” digital learning dari sekarang. Tidak begitu saja membiarkan private sector, yang berorientasi pada profit, untuk menyelenggarakan digital learning. Kita bisa sepakat bahwa tidak mungkin melawan teknologi. Sungguh baik mengembangkan teknologi dalam dunia pendidikan. Namun harus diimbangi dengan upgrading tenaga pendidik di sisi lain. Jangan sampai ruh guru kalah oleh daya tarik gawai.

Hal juga perlu dilakukan adalah regulasi. Sejauh mana e-learning boleh terlibat dalam kegiatan belajar-mengajar? Hal apa saja yang tidak bisa didelegasikan oleh guru pada gawainya? Bagaimana mengatur akses siswa pada materi-materi yang belum saaatnya dibaca? Dan sebagainya.

Jangan sampai teknologi berubah fungsi. Dari yang sebelumnya memudahkan tugas manusia, menjadi “membasmi” manusia.


*sumber gambar dari google.



Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.