Akselerasi Pendidikan Untuk Guru Kecil Menuju Guru Besar


Oleh Farhan, mahasiswa proram Doktor Pengkajian Islam SPS UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, serta dosen tetap IAI Nurul Jadid Paiton Probolinggo Jawa Timur.  

Penulis memulai dari cerita diskusi ringan antara mahasiswa magister dan doktor pengkajian Islam di SPS UIN Syarif Hidayatullah. Pada saat itu, 20 orang calon magister dan Doktor mendengarkan nasehat dari Prof. Atho Mudhar, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, koordinator pengampu mata kuliah ‘Pendekatan Studi Islam’ semester ganjil tahun akademik 2014/2015. Setiap mahasiswa, pada pekan pertama pembelajaran, ditanya oleh Profesor tentang cita-cita yang akan diwujudkan. Satu dari duapuluh mahasiwa menjawab ingin menjadi seorang profesor. Bagaimana cara menjadi profesor?

Dari sekitar 165.000 dosen yang tersebar di 4.500 perguruan tinggi nasional Jumlah doktor saat ini 16.ooo orang, sementara yang diperlukan sebanyak 30.000 orang (pikiran-rakyat.com Dhita Seftiawan, 27 Agustus, 2017). Sedangkan jumlah profesor yang ada baru 5.489 orang, kalau yang dibutuhkan adalah 30.000 orang, maka ini adalah ‘pekerjaan rumah’ yang harus diprioritaskan secara massif antara berbagai elemen; pemerintah-swasta, lembaga pendidikan negeri-swasta, dan khususnya kerjasama antar profesor dan kandidat doktor di kampus negeri-swasta.

Guru besar atau profesor adalah jabatan fungsional tertinggi bagi dosen yang masih mengajar di lingkungan satuan pendidikan tinggi. Sedangkan Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, pendidikan menengah (UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen). Maksud penulis, bukan sekedar ingin mengetahui siapa itu guru dan siapa guru besar, melainkan untuk mengingatkan kepada kita sesama insan akademis, bahwa jabatan guru-dosen-guru besar merupakan bagian cukup penting bagi sebuah bangsa yang besar.

Semakin intensif sinergitas  guru dan guru besar, maka semakin tinggi motivasi guru beralih menjadi guru besar di masa mendatang. Hal ini, bisa saja dibuktikan dengan melakukan sebaran angket kepada seluruh guru yang ada. Kendatipun di beberapa daerah di Indonesia kebutuhan guru masih kurang, baik guru agama maupun guru umum. Bahkan guru agama mengalami kekurangan sekitar 21 ribu guru. Ini memang ironis.

Direktur Jenderal Pendidikan Islam kemenag, Kamaruddin Amin, mengatakan bahwa kekurangan guru agama Islam di sekolah sangat masif dan mendasar. Di lain kesempatan, kemendikbud mengakui kekurangan tersebut, “Guru agama itu menjadi tanggung jawab kementerian Agama, kalau guru umum itu tanggung jawab kemendikbud” ujar Muhadjir Effendy di Gedung Al Ihsan, Mataram, NTB. (lihat berita www.republika.co.id 8 dan 9 Juli 2017.

Alih-alih membahas kesejahteraan guru dan guru besar yang terus menerus menjadi bahasan tak kunjung usai. Memikirkan jumlah guru dan guru besar sudah membutuhkan jejaring stakeholder yang begitu rumit. Sehingga wacana pemenuhan kebutuhan guru sampai guru besar pun menjadi permasalahan tersendiri.

Menurut penulis, pemerintah harus menstimuli para guru agar beberapa di antara para guru, memimpikan menjadi guru besar dengan tunjangan yang sesuai dengan jabatannya yang khusus. Hal itu bisa dilakukan dengan akselerasi guru menuju guru besar. Agar bisa saling berpacu antara guru dan guru besar melalui asistensi para dosen (doktor). Terutama yang lebih memungkinkan segera berproses menuju dan mengejar jabatan guru besar. Yaitu para guru yang sudah menempuh program doktoral.

Data tentang guru yang sudah menjadi doktor di Indonesia, penulis memang belum mengetahui secara keseluruhan. Namun, apa yang telah penulis saksikan sendiri, ketika melihat Teguh Selamet Wahyudi -salah satu guru mata pelajaran matematika di Sekolah menengah Atas di Depok, Tangerang, Banten- melaksanakan ujian promosi Doktor di Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada Juni 2017 lalu, dengan judul disertasi ‘DIMENSI KEMANUSIAN DAN KETUHANAN DALAM MATEMATIKA AL-KHAWARIZMI DAN MATEMATIKA MODERN’ telah membuat penulis haru dan bangga. Bahwa semangat guru tersebut, bisa jadi melebihi semangat Dosen yang masih magister -sedang tugas/ijin studi belajar di program doktor- dan masih menyelesaikan dan atau memang seharusnya segera menjadi doktor. Namun, belum juga beralih menjadi dosen dengan gelar barunya sebagai “Dr”.

Penulis meyakini bahwa masih banyak guru-guru di sekolah menengah atas yang ingin segera melanjutkan ke jenjang program doktor di berbagai perguruan tinggi di dalam negeri baik swasta maupun negeri. Hanya saja, karena ‘mungkin’ telah mendapatkan tunjangan sertifikasi guru dengan aneka macam kewajiban, tugas dan tuntutan jam kerja yang lebih ektra, impian itu menjadi ‘termarjinalkan’. Sehingga impian itu, penulis kuatirkan akan sirna. Yang semestinya hak para guru menjadi guru besar pun boleh diberikan seluas-luasnya, agar para guru juga menjadi tercerdaskan dan tetap diteladani peserta didiknya.

Guru bukan hanya sekedar ikut serta membangun dan mencerdaskan kehidupan bangsa -sebagai pahlawan tanpa tanda jasa-, melainkan sebagai pelopor akselerasi guru menjadi guru besar, tentunya dengan berbagai syarat dan persyaratan yang ada. Misalnya, data jumlah kepala sekolah dan guru sekolah menengah atas, kemendikbud mencatat sejumlah 294.872 guru, sedangkan di sekolah menengah kejuruan sejumlah 276.099 guru (Pusat data dan statistik pendidikan dan kebudayaan, 2017: 31-32). Setidaknya, ada lima puluh persen saja dari total 570.971 guru SMA dan SMK menyadari pentingnya menjadi guru besar. Bila melanjutkan studi ‘didasarkan atas kemauan yang tinggi’ kemudian memimpikan menjadi guru besar dengan kewajiban merealisasikan pendidikan ke jenjang berikutnya bagi yang sudah megister, maka dalam kurun waktu 2-3 tahun menempuh program doktor, Indonesia akan kaya dengan Doktor. Kuota guru besar semakin memungkinkan dilakukan percepatan atau akselerasi, dan tetap konsisten pada kompetensi keilmuan dan profesionalisme masing-masing guru.

Utamanya bagi guru yang usianya masih produktif, maka hal itu akan membantu ‘krisis guru besar’ yang sekarang sedang melanda perguruan tinggi. Setidaknya, anak-anak dari para guru menjadi bangga kalau pun impian menjadi guru besar itu terbatasi oleh usia, dan atau cukup pada jenjang Guru yang Doktor. Generasi emas akan terwujud dimulai dari generasi guru yang doktor yang bermimpi menjadi guru besar. Selamat datang para guru yang sudah Doktor, anda adalah tamu kehormatan sebagai calon guru besar. Saya Farhan, Salam Doktor.

(Penulis masih ingat betul, Prof Atho Mudhar, di ruang kelas pada September 2014, pernah menyampaikan bahwa kekurangan profesor di Indonesia antara lain karena kebijakan pengajuan guru besar harus diusulkan oleh perguruan tinggi negeri. Ke depan guru besar bisa diusulkan oleh yayasan dan atau perguruan tinggi swasta).








Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.