FDS: Full Day Santri atau Full Day School ‘?’


Oleh : Farhan, mahasiswa Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta & Dosen Tetap IAI Nurul Jadid Paiton Probolinggo Jawa Timur.

Tentu, terdapat beragama interpretasi makna judul di atas. Pendidik, politisi, pedagang, wali murid-wali santri, nelayan, peserta didik, pejabat dan para menteri pun memiliki pemaknaan yang sama, walaupun tidak ‘kembar identik’. Hanya saja, bila pembacanya warga dan sahabat pesantren, tentu akan menyadari, betapa jelas tergambar dan terasa kenangan-kenangan; manis-pahit, susah-senang, impian-cita-cita, ketulusan-pengorbanan, kompetisi dan lainnya. Karena, disanalah cermin kehidupan ‘sebuah bangsa’ yang ‘fulltime’ dan ‘realtime’.

Sebagai cikal bakal sebuah Bangsa beradab dan memiliki peradaban unik, ekosistem di lembaga pesantren adalah teratur, terukur, terstruktur, dan terpercaya- sejak ratusan tahun sebelum NKRI yang ‘Harga Mati’ ini berdiri. Bahkan historisitas para pendirinya adalah warga dan sabahat pesantren. Disebutkan Ronald Alan, pesantren berdiri sejak tahun 1399 Masehi  oleh Syeikh Maulana Malik Ibrahim atau Maulana Maghribi, hingga ratusan tahun kemudian pesantren terus eksis dalam kaderisasi mencetak pemimpin besar dimasanya.

Di pesantrenlah konsep pendidikan informal-nonformal-formal terselenggara dan terjalin berimbang. Karenanya, pesantren disebut oleh Gus Dur, presiden Republik Indonesia ke-4, sebagai subkultur yang perlu dilestarikan di Nusantara, karena memiliki nilai-nilai dan simbol yang tidak bisa disamakan dengan lembaga lainnya. Oleh karena itu, hemat penulis, melestarikannya merupakan kebijakan yang bijak, kendati bukan bangunan fisiknya atau unsur lainnya, melainkan ‘perangkat lunak’ sistem pendidikan yang diterapkan dan ditumbuh-kembangkan.  

Tidak mengherankan bila Zamakhsyari Dhofier menyebut pesantren memiliki lima unsur utama yaitu; Pendidik (kyai/orangtua), Peserta didik (santri/anak), Asrama (ruang/kamar istirahat), Pengajian Kitab-kitab Klasik (Materi/bahan ajar pokok) dan Pondok (rumah/tempat tinggal), dan Masjid (pusat spiritualitas/religiusitas) -yang menjadi motivator terpenting bagi orangtua-anak menggapai semua cita-cita masa depan. Terutama pada saat di mana peserta didik sudah siap ‘diterjunkan’ menjadi pemimpin setelah beberapa tahun digembleng dan diasah-diasih-diasuh kompetensinya oleh Kyai (Profesionalism).

Produk sistem pendidikan pesantren di masa pra kemerdekaan telah memberikan peran cukup signifikan.
Abdul A’la pun pernah menyampaikan sejarah kepemimpinan di Nusantara tidak lepas dari regenerasi yang dilakukan oleh warga dan sahabat pesantren(para sufi). Misalnya, sunan Bonang adalah seorang seniman, Sunan Gunung Jati adalah seorang ahli strategi perang, sunan Drajat adalah ekonom, dan Raden Fatah adalah politikus dan negarawan. Bahkan tidak bisa dinafikan, pelopor dan pendiri organisasi masyarakat seperti Muhammadiyah (MD) dan  Nahdlatul Ulama (NU) pun adalah didikan sistem pesantren, mereka adalah KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asy’ari.

Di pesantren lah, kehidupan 24 jam dialami peserta didik dengan kompetisi sportif, dinamis dan inklusif. Keberperanan pengurus (Kyai-Ustadz-Pengajar) sebagai orang tua ‘realtime’ bagi warga pesantren selama berproses menimba ilmu pengetahuan, menjadi ‘pelayan’ yang benar-benar mengayomi, melindungi dan bahkan mengobati ‘warga pesantren’ yang kedapatan sedang mengalami sakit jasmani/rohani.

Kendatipun dikemudian hari, tipologi pesantren dikatagorisasi ke dalam yang tradisional-modern, plural-rular, dan ataupun pesantren kecil-sedang-besar, semua pesantren memiliki karakteristik ‘khas’ dengan tujuan sama; merealisir regenerasi kepemimpinan masa depan. Di mana terdapat peran konkrit di tengah masyarakat khususnya menengah ke bawah, dari warga pesantren yang mengajarkan ilmu di madrasah-madrasah diniyah-baik awal/ula, wustho, ulya- yang telah didirikan di Indonesia dikemudian hari hingga masih eksis saat ini, dan harus tetap dipertahankan dimasa-masa mendatang.

Kalaupun pemerintah saat ini, melalui Kemendikbud, sejak Juli 2017 harus menggalakkan program penguatan karakter (PPK) dalam bentuk full day school, mengadopsi sistem pembelajaran di pesantren dan madrasah (full day santri), lalu mengintegrasikannya dengan lembaga formal yang sudah ada, maka perlu dikomunikasikan secara balance dan bena-benar transparan asbabul wurud-nya,  Agar tidak menjadi penafsiran yang tetap ambigu, dan menimbulkan polemik dari masyarakat luas, khususnya warga dan sahabat pesantren.

Program Penguatan karakter (PPK) yang menitikberatkan kedalam lima karakter utama; religius, nasionalis, gotong royong, mandiri, dan integritas, sebagaimana disampaikan Kemendikbud melalui kerjasama antara madrasah diniyah dengan sekolah formal, hemat penulis bukanlah alasan tepat. Kalau masih didasarkan pada tujuan lain yang ingin dibijaki di kemudian hari.

Regulasi yang harus diseimbangkan semestinya adalah pemberlakukan hak-hak pendidik di sekolah (full day school) formal versus pendidik di madrasah non-formal (full day santri). Dengan demikian, full day learning bagi pendidik dan peserta didik tercermin secara berimbang, berdasar keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Sumber :
Abdurrahman wahid, ‘Pesantren sebagai Subkultur’ dalam Dawam Raharjo (ed.) Pesantren dan Pembaruan (Jakarta : LP3ES, 1995), 39-60.

Abdul A’la, Pembaharuan Pesantren (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2006), 17.

Roducation and Religion edentity construction (Michigan: Arizona State University, 1997), 60.

Zamakhsyari Dhefier, Tradisi Pesantren; Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya Mengenai Masa depan Indonesia (Jakarta: LP3ES, 2011), versi Digital sejak 3 Maret 2016 ISBN 9793330880, 9789793330884. Dari judul asli Role of Kyai in Development of Islam and Islamic Education in Java, University of California, 1982


Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.