Guru dan Tantangan Zaman

Oleh Jejen Musfah, UIN Jakarta
Guru merupakan profesi mulia, tetapi tidak cukup mudah menjalankan peran sebagai guru. Tantangan zaman mengharuskan guru menjadi teladan, ilmuwan, sekaligus pahlawan—tanpa tanda jasa? Sebagai pendidik, guru menghadapi tantangan yang tidak ringan, baik internal maupun eksternal. 

Karakter 
Tujuan utama pendidikan adalah pembentukan karakter siswa. K13 jelas fokus pada karakter. Tidak cukup dengan kurikulum, pemerintah meluncurkan program Penguatan Pendidikan Karakter (PPK). Orientasi pendidikan selama ini dianggap keliru karena menempatkan pengetahuan di atas pembentukan sikap dan penguasaan keterampilan. 

Jokowi di periode pertamanya menawarkan adagium revolusi mental karena sadar problem utama bangsa ini adalah karakter dan budaya. Entah mengapa program ini seolah tenggelam, dan tak muncul lagi. 

Berhasilkah K13, PPK, dan revolusi mental Presiden Jokowi? Mungkin iya, mungkin tidak. Tawuran, kekerasan terhadap guru, narkoba, pergaulan bebas, masih tinggi. Sebaliknya, masih ada guru yang melakukan kekerasan dan pelecehan seksual terhadap peserta didik. 

Tantangan mendidik tidak mudah karena anak-anak sudah mengenal gawai dan karenanya menyerap informasi yang belum tentu layak dikonsumi mereka. Misal, anak lebih lekat dan nyaman dengan gawai daripada dengan orangtuanya. Tidak mudah berinteraksi dengan anak pada saat mereka sedang bermain gawai.  

Pembentukan karakter siswa dilakukan bersama antara guru dan orangtua, di rumah dan di sekolah. Komunikasi keduanya harus baik menyangkut kondisi dan perkembangan perilaku dan sikap anak. Jika tidak, terlalu berat tugas guru mendidik siswa.  

Hoax
Berita bohong merupakan ancaman bagi rasionalitas guru. Di era telepon pintar, medsos, dan whatsapp, saat ini, guru bisa menunjukkan kualitas pikiran dan orientasinya. Status medsos guru mencerminkan kualitas dan karakter guru. 

Apa yang dibagikan dan yang dibuat guru di medsos saat ini mengkhawatirkan. Berani tapi tidak hati-hati. Mudah membagikan konten tanpa mengkritisi. Mudah membuat status tanpa yakin kualitas dan bermanfaat atau tidak. 

Di era pemilu dan bukan pemilu pun masih ada guru yang statusnya menunjukkan kebencian dan kecintaan yang berlebihan kepada individu, ormas, atau partai tertentu. 

Bisa jadi, guru semacam ini adalah korban hoax. Mereka mudah percaya berita, malas membaca, lalu menyebarkan atau berkomentar. Guru yang baik tidak mudah percaya berita dan menahan berbagi berita, tetapi rajin membaca dan membuat status yang berguna. 

Big data
Informasi melimpah. Saking banyaknya tak mungkin bisa tertampung oleh memori otak manusia. Tapi internet atau hard ware tertentu bisa menyimpan jutaan informasi. Di level manakah guru dalam era kelimpahan informasi dan big data saat ini?

Acuh, pembaca, korban, pencipta atau inovator? Seharusnya guru tidak acuh, tidak sekedar membaca, apalagi menjadi korban informasi, tetapi melahirkan karya dengan memanfaatkan kelimpahan informasi atau big data. Yang membedakan manusia kreatif dan tidak ada adalah kemampuan mengolah data dan informasi menjadi sesuatu yang bernilai dan baru.  

Amati, tiru, modifikasi, dan plus. Guru berkarya sesuai dengan pengalaman dan konteks daerah (kelebihan dan kekurangan) karena metode atau konsep tertentu cocok bagi daerah tertentu tapi belum tentu cocok bagi daerah lainnya. Karya guru berdasarkan keunikan dan kekhasan daerah menjadi sangat penting. 

Rajin membaca, memahami, dan menghubungkan satu data dengan data lainnya merupakan kunci inovasi dan kreativitas. Melahirkan karya dan inovasi lebih mudah di era big data saat ini. Atau sebaliknya, era kelimpahan informasi saat ini mematikan kreativitas pendidik dan peserta didik.    

Toleransi
Problem besar warga bangsa saat ini adalah intoleransi. Individu atau kelompok tertentu melakukan kekerasan verbal dan nonverbal kepada individu atau kelompok yang berbeda secara agama, ras, suku, bahasa, dan pemahaman agama. Pembunuhan, pengrusakan, dan pembakaran rumah dan fasilitas publik terjadi.   

Guru harus merespon fakta kerentanan masyarakat itu dengan pengembangan karakter toleran dan tanggung jawab di kalangan siswa. Rapuhnya persaudaraan antar warga yang bhineka saat ini dan di masa lalu menunjukkan kegagalan pendidikan 28 tahun silam. 

Tentu saja, selain pendidikan formal, ada faktor lain yang membentuk karakter warga saat ini: seolah toleran dan cinta damai, tetapi mudah tersulut provokasi. NKRI bisa jadi tinggal kenangan jika potensi amuk masa semacam ini tidak ditangani dengan baik.  

Kesejahteraan 
Apakah profesionalisme guru bisa terwujud jika guru tidak sejahtera? Banyak guru bergaji sangat kecil. Lebih kecil dari pelayan Alfamart dan Indomart. Tunjangan profesi guru baru dinikmati sebagian kecil guru. Tidak semua daerah memberikan tunjangan daerah. 

Adakah kaitan rendahnya mutu guru seperti tergambar dalam Uji Kompetensi Guru selama ini dengan rendahnya kesejahteraan guru? Sulit rasanya menuntut guru profesional sementara kesejahteraan mereka diabaikan. Meminta guru untuk ikhlas dengan gaji kecil sungguh pikiran keliru. 

Tantangan guru nonsejahtera adalah bisa profesional di tengah banyak keterbatasan. Banyak contoh guru model ini, tetapi pemerintah, Pemda, dan yayasan tidak bisa membiarkan kondisi ini berlarut-larut. Guru di mana pun harus sejahtera. Sejahtera dulu baru profesional.    

Kecuali itu, guru sejahtera (PNS misalnya) harus menunjukkan profesionalisme dan kinerja efektif. Beberapa hasil riset yang menyimpulkan tidak ada pengaruh sertifikasi terhadap profesionalisme guru harus dijawab dengan kerja efektif dan sebaik-baiknya. Guru sejahtera harus merasa malu jika tidak bekerja dengan baik, dedikatif, dan sungguh-sungguh.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.