Mengajar dan Juga Belajar: Pengalaman Menjadi Guru Anak Inklusi


Oleh Lucci Astati Inanda, Mahasiswa PAI Unisma Bekasi
 
Suatu waktu saya pergi melakukan observasi ke tempat praktik pengalaman lapangan kependidikan (PPLK), sempat terlintas dalam benak saya…apakah saya bisa? Apakah saya salah memilih tempat untuk PPLK ? Jujur saja, waktu itu dengan kondisi sekolah yang begitu sepi, banyak ruangan kelas yang tidak terpakai dan tidak terawat lagi, saya berpikir “ ini seperti di film Laskar Pelangi” hehe, begitu ucap saya ke beberapa teman.

Kemuadian kami diajak salah seorang guru pamong (Pak Amin) masuk ke kelas X yang kondisinya sudah dijelaskan di awal oleh guru pamong (anak- anak kelas X semunya istimewa, 4 anak tuna netra, 1 anak tuna daksa), kami masuk ke kelas X kemudian memperkenalkan diri, meraka pun demikian, di sebelah kiri.  Ada Elsa yang punya hobby menyanyi, Elsa pernah memenangkan lomba Tahfizh tingkat Jawa Barat dan menjadi juara 3, meskipun Elsa dan beberapa temannya di sini memiliki keterbasan melihat tetapi mereka layaknya remaja-remaja lain pada umumnya sesekali mereka bercanda, menjahili satu sama lain.

Di samping Elsa, ada Rachel yang mempunyai hobby membaca dan menulis. Rachel si pemalu ini mempunyai cita-cita menjadi Psikolog (ke depannya diketahaui ternyata Rachel pandai berbicara di depan umum, tidak sepemalu di dalam kelas, juga pandai mengungkapkan ide dan pemikirannya dalam tulisan) oiyaa..Rachel ini paling aktif di Instagram diantara beberapa temannya (kalian jangan salah, Rachel dan teman-temanya juga bisa mengoperasikan Smartphonenya seperti kita pada umumnya).

Di meja sebelah ada Radit yang juga pemalu (Radit penyandang Tuna Daksa). Jadi di kelas ini yang dapat melihat kami cuma Radit. Ia paling diam di antara yang lain, pun Radit tak seceria teman-temannya, entahlah saya tidak bisa mengartikan ekspresinya yang sekilas terlihat cuek.

Di belakang Radit  ada Thoriq, Thoriq punya hobby membaca dan bermain musik, meskipun Thoriq tidak bisa melihat 100% seperti Elsa dan Rachel, Thoriq ini paling lincah di antara mereka, terakhir Ada Kandi, yang juga si pendiam (Kandi terlihat normal, tapi hanya beberapa persen saja dapat melihat cahaya). 

Setelah perkenalan, Pak Amin menyampaikan pelajaran hari itu tentang Asmaul Husna, Kemudian pak Amin memerintah anak-anak mencari Asmaul Husna di android masing-masing, tampak mereka dengan cekatan mengeluarkan android mereka dengan mendekatkannya di telinga mereka (sekarang saya tahu namanya menu Talk Back) untuk membuka youtube dan memutar Asmaul Husna, sampai di sini saya tersentuh, saya takjub, saya tidak bisa berkata2 begitupun dengan teman2 yang lain ada yang berkaca-kaca.

Aah, selama saya ini sering lupa bersyukur, saya selama ini banyak mengeluh, betapa banyak nikmat Allah dan betapa Agung Kuasa-Nya.. Dengan melihat meraka punya kelebihan di samping kekurangnnya saya juga sadar setiap sesuatu ada kekurangan  dan ada kelebihannya.

Mereka mungkin tidak dapat melihat dunia ini seperti kami, kelebihannya mereka juga tidak melihat apa-apa yang diharamkan oleh Allah, mata mereka terjaga dengan demikian hati mereka pun bening, bersih, tajam.  Itulah mengapa Elsa mampu menghafal 30 juz Al-Qur’an, dan ingatan mereka juga sangat bagus terbukti pada pertemuan selanjutnya, juga mereka langsung mengenali kami dengan suara kami atau dengan aroma tubuh kami.

Hari itu sebelum pulang , saya yakin saya tidak salah memilih tempat PPLK,  saya yakin semua sudah ditentukan oleh ALLAH SWT, saya yakin ini bagian dari rencana Allah, setiap pertemuan, setiap tempat mengandung banyak pelajaran dan hikmah yang dapat kita ambil. Di mana pun kapan pun kita dapat belajar atau mengambil pelajaran, dengan siapa pun entah itu dengan orang yang lebih muda dari kita, lebih tua dari kita, sekalipun dengan orang jahat atau orang baik, sepanjang kita dapat melihat sesuatu dari sudut yang luas, bukan hanya dari sudut pandang kita sendiri.

Selanjutnya untuk 3 bulan kemudian saya diberi tugas mengajar di kelas XII.IS yang di dalamnya  ada 12 murid, termasuk 2 anak istimewa penyandang tuna netra dan 1 anak istimewa penyandang tuna rungu. Hari pertama mengajar tidak semenegangkan yang saya bayangkan. Anak-anak menerima dengan ramah dan dapat diajak kerja sama, sebelumnya saya sempat bingung menentukan metode apa yang akan saya gunakan, mengingat ini pertama kalinya saya mengajar di sekolah inklusi. 

Ada rasa takut kalau anak-anak istimewa ini tidak dapat ikut berpartisipasi dengan metode yang saya gunakan, atau justru mereka tidak menangkap apa yang sebenarnya ingin saya sampaikan. Tapi ketakutan saya tidak terjadi anak-anak antusias dengan metode apapun yang saya gunakan, meskipun di tengah-tengah mengajar mereka melontarkan candaan, saling menjaili, saling mengejek, tapi itu saya anggap sebagai selingan yang menandakan bahawa mereka tidak mengantuk.

Pernah sekali saya menggunakan model pembelajaran snowball throwing dengan harapan semunya dapat mengulang kembali materi yang baru saya sampaikan dengan melempar pertanyaan yang terbuat dari bola kertas sekaligus bersenang-senang, karena terlalu bersemangatnya mereka sampai melupakan Rizky dan Dera (siswa penyandang tuna netra) mereka tidak mendapat lemparan “bola pertanyaan” dari temannya ,karena lemparan mereka terlalu cepat atau karena mereka takut kalau-kalau lemparan itu terlalu keras, oke mungkin ini kesalahan saya memilih model pembelajaran. Selanjutnya perlu diperbaiki, atau mungkin caranya yang salah seharusnya tidak dilempar ,mungkin dioper saja membentuk jarum jam.

Selanjutnya saya mencoba beberapa model pembelajaran yang lain, saya memilih model yang sekiranya  semuanya tetap bisa  berpartisipasi seperti Drama, “kenapa saya selalu menggunakan model pembelajaran? Kan susah dengan keadaan siswa yang tidak homogen?” karena saya ingin anak-anak bisa belajar dengan asyik tanpa mengantuk, tanpa bosan, tanpa harus melupakan tujuan utama menyampaikan materi, mengingat waktu belajar di siang hari yang rawan rasa ngantuk dan lapar.

Beberapa minggu di sini saya sudah merasa nyaman, dengan anak-anak yang ramah dan penurut, dengan guru-guru yang ramah, juga melihat keakraban dan kekompakan anak-anak satu sama lain, dari kelas X sampai kelas XII, yang biasanya di Sekolah lain adik kelas dan kakak kelas susah berteman, membentuk geng dan sebagainya, di sini semua seperti keluarga, saling membantu dan saling menyayangi.

Satu lagi pelajaran yang dapat diambil adalah tidak ada sekolah/ universitas buruk, jelek, tidak berkualitas, sepanjang kita melakukan yang terbaik, terus belajar dengan sungguh-sungguh dan mencintai prosesnya. Mungkin sampai di sini sepenggal kisah yang saya mendapati pelajaran di dalamnya. Juga pengalaman yang tidak bisa saya dapatkan di tempat lain.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.