Mahasiswa Saat Ini: Agen Perubahan Atau Terseret Perubahan ?




Oleh Khairul Azan, Dosen STAIN Bengkalis & Ketua DPD GAMa Riau Kabupaten Bengkalis)

Hari ini banyak sekali mahasiswa yang menjumpai saya untuk berkonsultasi terkait perkuliahan semester baru yang akan ditempuhnya. Ada yang mau masuk semester dua, empat dan enam. Konsultasi mengarah pada masalah-masalah akademik seperti nilai yang menurun dan lain-lain. Melayani mahasiswa yang bimbingan membuat diri teringat pada suatu masa bahwa saya juga pernah seperti mereka yaitu menjadi mahasiswa.

Semenjak dulu mahasiswa itu sering dikatakan sebagai  agent of change (agen perubahan). Julukan agen perubahan mengarah pada orang yang menempati posisi sebagai “wakil” dalam tatanan sosial di masyarakat. Mahasiswa adalah penyuara perubahan, mulai dari konseptor hingga eksekutor. Mereka adalah pengontrol atas situasi yang terjadi dilingkungannya, pengamat dan pemberi solusi atas segala problema. Inilah yang ditunjukkan oleh orang yang bernama mahasiswa.

Trend mahasiswa sebagai agen perubahan bukanlah terlihat dari gaya kekampus yang mentereng dengan pakaian rapi serba berlebel, tapi lebih mengarah pada fikiran berlian yang dilahirkan. Inilah mahasiswa. Sehingga timbul pertanyaan jika kita lihat potret mahasiswa saat ini apakah masih bisa dikatakan mahasiswa sebagai agen perubahan? Tentunya ini kembali kepada kita masing-masing dalam menilainya. Namun jika dari sudut pandang pribadi mahasiswa sekarang mulai bergeser dari apa yang seharusnya terjadi. Namun mohon digaris bawahi barangkali ini hanya sudut pandang pribadi yang tak bisa digeneralisasi. Mahasiswa sekarang lebih cenderung bukan sebagai agen perubahan melainkan sebagai mahasiswa yang terseret perubahan. Mahasiswa sekarang lebih cendrung konsumtif namun sedikit sekali yang kreatif. Kreatif dalam mengembangkan kemampuan agar menjadi bekal dihari kemudian. Mahasiswa sekarang lebih suka ke Mall ketimbang membaca buku. Mahasiswa sekarang lebih sibuk untuk berdandan kekampus namun ketika berdiskusi dikelas ia tak mampu. Mahasiswa sekarang lebih senang membeli pakaian baru ketibang untuk membeli buku.  

Budaya diskusi yang dilakukan mahasiswa atas problematika yang terjadi baik terkait isu politik, sosial, ekonomi, pendidikan sekarang mulai  hilang. Ruang diskusi semakin sempit sehingga pemikiran mahasiswapun juga sempit. Jiwa kritis dari mahasiswa semakin krisis. Mereka lebih cenderung ketawa sana sini, ngaur ngidul tak jelas dan menganggap orang yang serius dalam mengembangkan keilmuannya sebagai intelek kacangan yang hanya sok-sokan. Padahal mereka tidak sadar bahwa mereka adalah mahasiswa yang diharapkan memberikan perubahan. Bukan kita yang ikut perubahan namun kitalah yang menciptakan perubahan.