Masalah Kebijakan Full Day School dan Alternatifnya

Image result for full day school 2017



Topik full day school (FDS)—sekolah 40 jam selama 5 hari--makin hangat diperdebatkan. Pasalnya sejak ide ini dilontarkan oleh Prof. Muhadjir pada awal menjabat Menteri Pendidikan tahun 2016 hingga kini belum ada titik temu dengan masyarakat yang menolak. Penolakan makin jelas setelah Mendikbud membuat Permendikbud nomor 23 tahun 2017 tentang hari sekolah. Karena kontroversi yang semakin keras, Presiden Jokowi akhirnya membatalkannya, dan akan mengkaji ulang. Namun, menurut Mendikbud, FDS akan diperlakukan melalui aturan yang lebih tinggi dengan Perpres. 

Dalam hal ini Mendikbud keukeuh untuk menerapkan ide yang digagasnya sejak awal. Kontroversi yang ada tidak diindahkan. Pertanyaan yang perlu diajukan, apa argumentasi yang paling mendasar dari Mendikbud? Jika mencermati Permendikbud nomor 23, bahwa tujuannya untuk menghadapi era globalisasi dengan penguatan karakter melalui restorasi pendidikan  karakter. Untuk itu pemberlakuan waktu sekolah 5 hari dan perharinya 8 jam seaakan menjadi solusi utama.

Sebelumnya tak terdengar ada kajian yang mendalam tentang bentuk restorasi pendidikan karakter yang tepat seperti apa, kemudian mengapa solusinya FDS, apa hubungannya. Dugaan penulis jangan jangan ini masih sebatas asumsi Mendikbud bahwa FDS sebagai jawaban tepat. 

Selain itu Mendikbud tak melihat bagaimana kesiapan dari bawah. Faktanya banyak forum guru dan orang tua murid menolak, warga NU protes keras yang secara resmi disampaikan oleh PBNU, dan juga MUI dengan berbagai alasan yang mendasar. Ini menunjukkan bahwa Mendikbud membuat kebijakan tersebut terkesan tergesa dan abai atas aspirasi masyarakat.

Persoalan karakter sudah menjadi sorotan oleh menteri pendidikan sebelum era Presiden Jokowi, yaitu pada era Presiden Susilo Bambang Yudoyono yang menteri pendidikannya pak M. Nuh. Dengan berbagai kajian yang dilakukan terwujudlah kurikulum 2013 (K-13) sebagai kurikulum yang terintegrasi dan berbasis karakter. Tentu kurikulum ini disertai kritik tajam dari masyarakat dan para pakar. Kurikulum ini pun nasibnya belum jelas karena sebelum diimplementasikan sepenuhnya sudah diberhentikan. Walaupun begitu, pendidikan di lingkungan Kemenag saat ini telah menerapkan K-13. Artinya penguatan karakter melalui kurikulum pendidikan pada saat ini belum rampung namun sudah beralih pada penentuan hari sekolah. 

Kemudian tepatkah FDS untuk  penguatan karakter? Pertanyaan ini juga perlu dijawab, mengingat klausul utama dalam Permendikbud itu adalah penguatan karakter dan jawabannya tidaklah cukup berangkat dari asumsi, tetapi harus dari hasil riset yang mendalam.

Asumsi FDS adalah membatasi jam main anak di luar kontrol orang tua sepulang sekolah. Dengan demikian agar anak didik terjaga di sekolah dan karakternya menjadi baik. Benarkah demikian! Apakah kalau tidak FDS karakter anak didik akan merosot, jangan jangan hanya kasuistik saja hal itu terjadi. Ini butuh kajian lapangan yang serius.

Setelah presiden Jokowi meminta agar permendikbud dibatalkan dan dikaji kembali, Mendikbud menjelaskan sebenarnya ide sekolah 8 jam sehari berawal dari problem tunjangan guru (detik, 8/6). Jika Hal ini benar,  maka Permendikbud yang lahir tersebut atau yang akan dibuat perpres tak jelas landasan dasarnya untuk penguatan karakter. 


Kembali Semangat Multikultural

Indonesia adalah negara yang berbhineka. Untuk mengatasi berbagai persoalan pendidikan nasional di Indonesia khususnya tentang FDS, maka kebijakan yang dibuat pun tentunya menunjukkan semangat perbedaan dan kemajemukan.

Sejarah era orde baru dapat menjadi pelajaran penting. Kebijakan yang sifatnya terpusat, dari atas ke bawah tanpa melihat keragaman dan perbedaan yang ada, terbukti gagal. Indonesia yang berbhineka alias multikultural tidak bisa disamaratakan. Di era reformasi jangan sampai kembali pada masa kelam.

Kebijakan multikultural dalam pendidikan nasional perlu diterapkan. Kebijakan yang seperti ini dengan menghargai keragaman dan kemajemukan adalah tepat untuk Indonesia. Kontroversi tentang kebijakan FDS hemat saya karena tidak melihat aspirasi masyarakat dan tak berdasar dari riset yang kuat. Sementara adanya pro dan kontra masyarakat menunjukkan kebutuhan serta konteks sosial yang berbeda. Mungkin bagi masyarakat perkotaan dengan kondisi orang tua murid yang sibuk bekerja akan setuju, walaupun tidak semuanya. Dan ini berbeda pada kondisi yang ada di daerah. Situasi pendidikan yang masih kurang memadai baik sarana prasarana maupun SDM-nya juga menjadi salah satu faktornya. Belum lagi tradisi lainnya seperti adanya sekolah sore (sekolah ngaji). Mendikbud setidaknya mengajak bicara pada semua kalangan yang memiliki kepentingan. Dengan seperti ini akan tahu keragaman aspirasi yang disampaikan.

Dengan semangat multikultural kebijakan yang ditetapkannya tidak mesti seragam tapi dapat beragam sesuai konteks masalah yang dihadapi. Inilah semangat dari UU Sisdiknas tahun 2003 yaitu otonomi pendidikan. Jika FDS masih diberlakukan dengan pendekatan seragam dari atas ke bawah, ini bertentangan dengan UU Sisdiknas tersebut, alih-alih untuk meningkatkan moralitas, malah bisa-bisa mendatangkan masalah baru, misalnya karakter anak makin merosot karena kebijakan yang tanpa didukung dengan riset yang mendalam. 

Kebijakan multikultural dapat diberlakukan pada kurikulum, sistem evaluasi, dan yang terkait dengan pendidikan. Semestinya hal-hal yang seperti ini diurus oleh organisasi profesi keguruan yang menunjukkan keahliannya. Level kementerian mengurus yang sifatnya besar-besar saja misalnya soal pendanaan dan pengembangan SDM. Dengan seperti ini proyek pendidikan nasional dengan visi ke depan jangka panjang tetap terjaga. Sementara ini visi pendidikan nasional kita masih jangka pendek, ganti menteri ganti kebijakan. Lalu, kapan unggulnya? 

Penulis: Dosen Pendidikan di FAI UNISMA Bekasi dan UNU Indonesia serta peneliti di Pusat Riset Pendidikan Indonesia. Artikel ini pernah dipublish oleh NU Online dengan judul, Full Day School Tinggal Semangat Multikultural.
Ket. Foto: Foto diambil dari http://nasional.kompas.com/read/2017/01/20/05050011/tahun.berganti.bagaimana.kelanjutan.program.full.day.school.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.