Tut Wuri Handayani: Nyaris Tak Terdengar Lagi
Oleh Abdul Khoir Hs, Dosen Unisma Bekasi
Sekelumit dialog saya pada lima orang siswa kelas 5 sekolah dasar negeri di
Tambun Selatan kabupaten Bekasi, apa kalian pernah tahu kata-kata Tut
Wuri Handayani? Spontan mereka
menjawab, tidak tahu! Pernah mendengarnya?
Mereka juga menjawab, tidak pernah!.
Pada saat saya tunjukan kata-kata itu tertulis di logo pendidikan yang
ada di topi merah putih salah satu temannya, mereka serentak tertawa sambil
mengatakan, “oh iya, ya, saya lupa”. Lalu saya menanyakan, apakah kalian pernah
mendapat penjelasan mengenai arti kata-kata ini dari guru kalian? Mereka nampak
ragu untuk menjawab. Saling tengak tengok ke wajah temennya, lalu di antara
mereka ada yang menjawab, belum pak!
Seinget saya kata-kata atau
falsafah Jawa Tut Wuri Handayani
selalu beriringan pengucapannya dengan dua kata falsafah sebelumnya yakni Ing
Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya
Mangun Karsa. Walaupun saya tidak begitu danta mengucapkannya karena
saya orang Bekasi yang berbahasa Melayu Betawi tapi kata-kata falsafah itu
sangat akrab di telinga kami dan mengerti maknanya.
Tiga kata-kata falsafah ini
menjadi sangat identik dengan spirit pendidikan di sekolah baik tingkat dasar
maupun tingkat menengah. Para guru yang telah memulai mengajar di antara tahun
1940 hingga tahun 1990-an tentu sangat memahami makna falsafah itu.
Bahkan
“kenal” baik dengan pemikiran dan konsep pendidikan Ki Hajar Dewantara yang di
gelari bapak pendidikan Indonesia.
Pemikiran tentang pendidikannya menjadi sumber inspirasi guru dan sistem
pendidikan di Indoensia paling tidak mulai awal kemerdekaan hingga akhir masa
orde baru.
Kemudian terasa terlupakan
konsep pendidikan Ki Hajar Dewantara justeru saat memasuki era reformasi. Karena
itu secara subyektif saya meragukan para guru yang memulai mengajar di awal era
reformasi dapat memahami dan menjiwai makna tiga falsafah itu. Kegagalan faham yang dijumpai pada siswa
dalam wacana dialog di atas bisa menjadi indikator subyekivitas saya tersebut.
Semoga asumsi saya SALAH.
Seberapa hebat tiga makna falsafah Jawa yang dikembangkan oleh Ki Hajar Dewantara tersebut dalam
pendidikan berkarakter yang sesunggunya kita cita-citakan bersama? Secara
singkat, Ing Ngarso Sun Tulodo, Ing Madya Mangun Karso
dan Tut Wuri Handayani dimaknai sebagai “di depan memberi contoh, di tengah memberi semangat, di belakang memberi
dorongan”.
Implikasi dalam sistem persekolahan adalah setiap pelaksana (tenaga)
kependidikan harus menjunjung tinggi nilai-nilai kepemimpinan. Para guru
dituntut lebih duhulu bersikap sesuai dengan makna falsafah tersebut. Pada saat
didepan murid harus memberikan contoh yang baik dalam segala hal, pada saat di tengah-tengah
murid harus mampu memberikan ide dan prakarsa, dan pada saat dibelakang harus
bisa memberikan semangat dan dorongan moral.
Selamat hari Pendidikan
Nasional 2018
Tidak ada komentar