Mari Menggerakkan Pendidikan Indonesia
Oleh Habibi Bk, universitas Wiraraja Sumenep
Bapak Pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara adalah seorang yang rajin menulis dan selalu kritis dalam persoalan pendidikan di Indonesia. Sehingga kritikan-kritikan Ki Hadjar melalui tulisan membuatnya dihukum buang ke negeri Belanda sana. Tapi di saat itu bukan susah dan putus asa, malah masa-masa itu dijadikan sebagai momen yang benar-benar membawa berkah bagi perjuangan dan cita-cita Ki Hadjar. Selama di Belanda beliau mendalami berbagai kemajuan teori pendidikan dunia seperti Montessori, Froeble dan Tagore.
Masalah-masalah harus disikapi secara bijak. Merekalah yang akan membuat kita menjadi kuat dan dewasa. Sayang, kita begitu takut akan masalah. Tak mau mengambil resiko untuk berkembang. Dan ingin cepat berhasil tanpa proses yang melelahkan.
Jumlah guru dan tenaga medis yang begitu sesak memenuhi kota-kota besar, dan menjadi "barang" langka di daerah adalah contoh dari pernyataan di atas. Bahkan, anak-anak daerah yang bisa sekolah hingga ke jenjang pendidikan tinggi di universitas besar banyak yang tak mau kembali. Alasan bahwa daerah tidak mendukung perkembangan karir memang ada benarnya, namun di sanalah diri mereka akan benar-benar dibutuhkan.
Satu hal yang jarang kita temui dalam praktik pendidikan saat ini yaitu mengenalkan anak-anak pada ide-ide besar. Mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi, yang dominan kita temui adalah tujuan-tujuan pragmatis. Sekolah untuk dapat ijasah, untuk mencari kerja. Pendidikan dipersempit menjadi hanya sekedar alat ekonomi. Sebagai akibatnya idealisme para akademisi pun banyak yang kalah oleh rayuan keuangan. Lihatlah bagaimana plagiarisme, contek-mencontek saat ujian dan bahkan jual beli ijasah, terus berlangsung bahkan hingga ke lembaga akademik besar seperti kasus di Universitas Negeri Jakarta baru-baru ini.
Penelitian dan ruang-ruang diskusi akademik pun lebih banyak menghasilkan pengembangan metode pembelajaran. Padahal berapa banyak metode yang telah dikembangkan tapi problem pendidikan tak semakin surut. Karena inti dari permasalahan bukan pada metode mengajar guru, tapi pada semangat dan dedikasi mereka. Saya merasa, dan banyak dari anda juga pasti merasakannya, ada yang salah dalam prioritas pembangunan pendidikan kita.
Bangsa yang besar bukan terletak pada jumlah kekayaan alam yang mereka miliki. Bukan juga pada jumlah manusia atau usia dari bangsa itu. Bangsa yang besar lahir dari karakter yang kuat. Yang memiliki pemikiran dan hati yang melangit, tapi kaki menjejak bumi.
Sebuah cerita sejarah yang sangat terkenal, yaitu mengenai pertanyaan yang pertama kali diutarakan oleh Kaisar Hirohito ketika Jepang dihancurkan oleh bom atom sekutu. "Berapa guru yang masih kita miliki?" Tidak hanya bertanya tapi sang kaisar mendatangi para guru dan memberi mereka amanat untuk membangun kembali Jepang melalui pendidikan. Jepang menjadi salah satu negara termaju di dunia namun tetap kuat memegang karakter tradisional mereka.
Kita pun sangat membutuhkan guru dan dosen dengan komitmen yang kuat untuk membangun bangsa. Mereka yang mau terus belajar dan menularkan jiwa pembelajar dan pejuang itu kepada para siswa. Teknologi informasi yang sedemikian canggih di jaman ini harusnya membuat cita-cita mulia para pendidik relatif lebih mudah. Tapi apakah semangat dan cita-cita saja cukup?
Saya ingat bagaimana guru SD dulu mengajari kita betapa berharganya persatuan. Yaitu melalui filosofi sapu lidi. Setangkai lidi yang rapuh, mudah patah, menjadi kuat dan banyak manfaatnya ketika bersatu dan diikat menjadi sapu. Saat itu beliau hendak mengajarkan bagaimana bangsa ini merdeka karena persatuan. Dan bagaimana sebelumnya dikuasai penjajah karena terpecah belah dan mudah diadu domba. Namun saya ingin memperluas nilai itu pada semua bentuk perjuangan, termasuk perjuangan kita di bidang pendidikan saat ini. Kita harus membangun kelompok-kelompok, organisasi yang dapat menyatukan cita-cita. Jangan hanya bergerak perorangan, karena anda akan digilas oleh ganasnya roda kapitalisme.
Jika kelompok-kelompok pendidik yang teorganisir telah bermunculan di berbagai penjuru negeri maka kita akan melihat bagai wajah negeri berubah. Kelompok di bidang literasi, penelitian, ruang belajar informal, bahasa inggris, kesenian daerah, banyak hal yang bisa dilakukan sesuai kebutuhan dan permasalahan deerah. Dengan kelompok teorganisir maka kita lebih punya kekuatan dan suara ke luar. Tangan-tangan lemah ini akan saling menguatkan, diikat oleh keinginan luhur untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Masalah-masalah harus disikapi secara bijak. Merekalah yang akan membuat kita menjadi kuat dan dewasa. Sayang, kita begitu takut akan masalah. Tak mau mengambil resiko untuk berkembang. Dan ingin cepat berhasil tanpa proses yang melelahkan.
Jumlah guru dan tenaga medis yang begitu sesak memenuhi kota-kota besar, dan menjadi "barang" langka di daerah adalah contoh dari pernyataan di atas. Bahkan, anak-anak daerah yang bisa sekolah hingga ke jenjang pendidikan tinggi di universitas besar banyak yang tak mau kembali. Alasan bahwa daerah tidak mendukung perkembangan karir memang ada benarnya, namun di sanalah diri mereka akan benar-benar dibutuhkan.
Satu hal yang jarang kita temui dalam praktik pendidikan saat ini yaitu mengenalkan anak-anak pada ide-ide besar. Mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi, yang dominan kita temui adalah tujuan-tujuan pragmatis. Sekolah untuk dapat ijasah, untuk mencari kerja. Pendidikan dipersempit menjadi hanya sekedar alat ekonomi. Sebagai akibatnya idealisme para akademisi pun banyak yang kalah oleh rayuan keuangan. Lihatlah bagaimana plagiarisme, contek-mencontek saat ujian dan bahkan jual beli ijasah, terus berlangsung bahkan hingga ke lembaga akademik besar seperti kasus di Universitas Negeri Jakarta baru-baru ini.
Penelitian dan ruang-ruang diskusi akademik pun lebih banyak menghasilkan pengembangan metode pembelajaran. Padahal berapa banyak metode yang telah dikembangkan tapi problem pendidikan tak semakin surut. Karena inti dari permasalahan bukan pada metode mengajar guru, tapi pada semangat dan dedikasi mereka. Saya merasa, dan banyak dari anda juga pasti merasakannya, ada yang salah dalam prioritas pembangunan pendidikan kita.
Bangsa yang besar bukan terletak pada jumlah kekayaan alam yang mereka miliki. Bukan juga pada jumlah manusia atau usia dari bangsa itu. Bangsa yang besar lahir dari karakter yang kuat. Yang memiliki pemikiran dan hati yang melangit, tapi kaki menjejak bumi.
Sebuah cerita sejarah yang sangat terkenal, yaitu mengenai pertanyaan yang pertama kali diutarakan oleh Kaisar Hirohito ketika Jepang dihancurkan oleh bom atom sekutu. "Berapa guru yang masih kita miliki?" Tidak hanya bertanya tapi sang kaisar mendatangi para guru dan memberi mereka amanat untuk membangun kembali Jepang melalui pendidikan. Jepang menjadi salah satu negara termaju di dunia namun tetap kuat memegang karakter tradisional mereka.
Kita pun sangat membutuhkan guru dan dosen dengan komitmen yang kuat untuk membangun bangsa. Mereka yang mau terus belajar dan menularkan jiwa pembelajar dan pejuang itu kepada para siswa. Teknologi informasi yang sedemikian canggih di jaman ini harusnya membuat cita-cita mulia para pendidik relatif lebih mudah. Tapi apakah semangat dan cita-cita saja cukup?
Saya ingat bagaimana guru SD dulu mengajari kita betapa berharganya persatuan. Yaitu melalui filosofi sapu lidi. Setangkai lidi yang rapuh, mudah patah, menjadi kuat dan banyak manfaatnya ketika bersatu dan diikat menjadi sapu. Saat itu beliau hendak mengajarkan bagaimana bangsa ini merdeka karena persatuan. Dan bagaimana sebelumnya dikuasai penjajah karena terpecah belah dan mudah diadu domba. Namun saya ingin memperluas nilai itu pada semua bentuk perjuangan, termasuk perjuangan kita di bidang pendidikan saat ini. Kita harus membangun kelompok-kelompok, organisasi yang dapat menyatukan cita-cita. Jangan hanya bergerak perorangan, karena anda akan digilas oleh ganasnya roda kapitalisme.
Jika kelompok-kelompok pendidik yang teorganisir telah bermunculan di berbagai penjuru negeri maka kita akan melihat bagai wajah negeri berubah. Kelompok di bidang literasi, penelitian, ruang belajar informal, bahasa inggris, kesenian daerah, banyak hal yang bisa dilakukan sesuai kebutuhan dan permasalahan deerah. Dengan kelompok teorganisir maka kita lebih punya kekuatan dan suara ke luar. Tangan-tangan lemah ini akan saling menguatkan, diikat oleh keinginan luhur untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Tidak ada komentar